Filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang.
Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.
Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.
Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.
Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;
Běběr
Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.
Kělir
Kělir adalah gěděbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).
Wayang
Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.
Pěthi
Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).
Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.
Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.
Blencong
Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.
No comments:
Post a Comment