Showing posts with label wayang. Show all posts
Showing posts with label wayang. Show all posts

Tuesday, November 24, 2020

Batara Wisnu dalam Pewayangan Jawa

Betara Wisnu sering disebut juga dengan Sangyang Batara Wisnu, dalam versi pewayangan Jawa, Batara Wisnu adalah Putra kelima dari Batara Guru dan Dewi Uma, Batara Wisnu adalah putra yang paling sakti diantara putra putra yang lainnya.

dalam pewayangan khususnya dalam lakon kisah dewa-dewi, Batara Wisnu bergelar Sang Hyang Satiti, yang artinya adalah Pemelihara yaitu memelihara dan melindungi Cptaan-Nya.

Sumber gambar dari : Wikipedia


Menurut budaya jawa Betara Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi Raja yang bergelar Simaharaja Suman dengan Kerajaan Bernama Medangura, terletak di wilayah Jawa Tengah, (hehehehe maaf jika ada perbedaan tidak perlu di perdebatkan ya ), Betara Wisnu kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati yang merajai jenis binatang air.

selain itu Betara Wisnu juga menitis atau terlahir kembali sebagai manusia, Titisan Betara Wisnu menurut pewayangan Jawa antara lain.

1. Srimaharaja Kanwa

2. Resi Wisnungkara

3. Prabu Arjunasasrabahu

4. Sri Ramawijaya

5. Sri Batara Kresna

6. Prabu Airlangga

7. Prabu Jayabaya

8. Prabu Anglingdarma

Batara wisnu bertempat tinggal di Kahyangan Untarasegara, mempunyai 3 permaisuri dan 18 putra putri antara lain ( 4 wanita dan 14 Pria ), dengan Dewi Sri Widowati atau srisekar, betara wisnu berputra batara srigala, betara srinada dan betari Srinadi.

dari pernikahan dengan Dewi Pratiwi Batara Wisnu Berputra Bambang Sitija dan Dewi Siti Sundari, Sedangkan dengan Dewi Sri Pujawati mempunyai 13 putra masing masing adalah; Batara Heruwiyana, Batara Ishawa, Batara Bhisawa, Batara Isnapura, Batara Madura, Batara MAdudewa, Batara Madusadana, Dewi Srihuna, Dewi Srihuni, Betara Pujarta, batara panwaboja dan batara Sarwedi / Hardanari.

Batara Wisnu saat turun ke Arcapada menjadi Raja Negara Medangpura bergelar Maharaja Suman untuk menaklukkan Maharaja Balya yaitu Raja Negara Medanggora penjelmaan dari Batara Kala. Batara Wisnu juga menjadi Raja di Medangkamulan bergelar Prabu Satmata untuk mengalahkan Prabu Watugunung yang melakukan inses atau kesalahan yang memperistri ibunya sendiri. 

Senjata senjata Betara Wisnu yaitu berupa Cakra dan kembang sakti yang dapat menghidupkan orang yang mati sebelum ajalnya. kembang itu disebut Cangkok Wijayakusuma yang hanya di titiskan kepad Prabu Kresna.

Batara Wisnu memiliki kendaraan berupa seekor Garuda raksasa yang bernama Bhirawan.

Sunday, October 25, 2020

Boma Narasakura dalam pewayangan

Boma Narakasura dalam pewayangan jawa adalah Putra Batara Wisnu dengan Dewi Betari Pertiwi, ia dilahirkan di Kahyangan Ekapratala yaitu tempat tinggal Batara Ekawarna kakek dari pihak Ibu. menurut versi wayang nama Boma saat kecil adalah Sitija. ia memiliki adik wanita bernama Sitisundari yang kelak menjadi Istri Abimanyu putra Arjuna dari keluarga Pendawa.


DOWNLOAD POLA WAYANG

Setelah dewasa, Sitija diminta para dewa untuk mengalahkan pamannya yaitu Bomantara yang berani menyerang khayangan. dalam pertempuran tersebut Sitija berhasil membunuh Bomantara. Roh Bomantara kemudian bersatu dalam diri Sitija yang menjadikan ia lebih sakti.

Setelah kematian Bomantara, Sitija menjadi Raja Kerajaan Surateleng bergelar Boma Narakasura, ia merubah nama Kerajaan peninggalan pamannya menjadi Trajutrisna, Selanjutnya, Boma mendengar bahwa ayahnya, Yaotu Batara WUsnu, telah terlahir kedunia sebagai manusia bernama kresna Raja Kerajaan Dwarawati. setelah melalui perjuangan, Boma akhirnya mendapat pengakuan sebagai anak sulung Kresna.

dalam pewayangan Boma di lukiskan sebagai sosok antagonis yang sering terlibat persaingan dengan gatotkaca putra Bima dari kelurga Pendawa. meskipun demikian kematiannya boma tetap dikisahkan oleh tangan Krisna.

Boma dalam pewayangan diadaptasi dai kekawin Bhomakaya oleh para dalang, terutama Ki narto Sabdo, tetapi dengan sedikit modifikasi sehingga lebih tekesan dramatis, peristiwa tersebut dinamakan Gijalisuta atau perang antara ayah melawan anak.

Monday, October 5, 2020

Tokoh Wayang Rajamala

Rajamala adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata. Ia tercipta dari mala penyakit Dewi Durgandini/Dewi Lara Amis yang tertelan seekor ikan betina. Ia terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, bernama; Kecaka/Kencakarupa, Upakeca/Rupakenca, Setatama, Gandawana dan Dewi Ni Yutisnawati/Rekatawati.

Rajamala juga mempunyai tiga orang saudara angkat lainnya yaitu : Bagawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawiya, keduanya putra Dewi Duragandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina.

Rajamala berwatak keras hati, berani, ingin selalu menangnya sendiri dan selalu menurutkan kata hati. Ia sangat sakti, tidak bisa mati selama masih terkena air. Menurut ketentuan dewata, hanya ada lima orang satria yang dapat mengalahkan dan membunuh Rajamala, yaitu: Resi Bisma, Adipati Karna, Resi Balarama/Baladewa, Duryudana dan Bima.

Pola Gambar Selanjutnya
Rajamala akhirnya tewas dalam peperangan melawan Bima, yang waktu itu hidup menyamar dinegara Wirata dengan nama Balawa, sebagai tindakan Rajamala yang ingin menjamah Salidri nama samaran Dewi Drupadi.

Sunday, October 4, 2020

Rupakenca

Rupakenca adalah Rupakenca atau Rupakencaka adalah putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu, dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata.

Rupakenca terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, yaitu; Rajamala, Kencakarupa, Setatama, Gandamana dan Dewi Ni Yutisnawati / Rekatawati.

Rupakenca juga mempunyai tiga saudara angkat lainnya, yaitu; Begawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawirya, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina.

Rupakenca berwatak sama seperti kakaknya, yaitu keras hati, penghianat, ingin menangnya sendiri, berani dan selalu menurutkan kata hati.

Sangat sakti dan mahir dalam olah keprajuritan mempergunakan senjata gada dan lembing/tombak

Gambar Pola Selanjtnya 

Patih Kencakapura

Kencakapura adalah  putra angkat Resi Palasara, dari padepokan Retawu, dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basukesti raja negara Wirata.

Kencakarupa tercipta dari kemudi perahu yang pecah terbentur batu besar, yang digunakan Resi Palasara dan Dewi Durgandini menyeberangi sungai Gangga.

Kencakarupa terjadi berbarengan dengan saudaranya yang lain, yaitu; Rajamala, Rupakenca, Setatama, Gandamana dan Dewi Ni Yutisnawati / Rekatawati.

Kencakarupa juga mempunyai tiga saudara angkat lainnya, yaitu; Begawan Abiyasa, putra Resi Palasara dengan Dewi Durgandini, Citragada dan Wicitrawirya, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Prabu Santanu, raja negara Astina.

Kencakarupa berwatak keras hati, penghianat, ingin menangnya sendiri, berani dan selalu menurutkan kata hati.

Sangat sakti dan mahir dalam olah keprajuritan mempergunakan senjata gada dan lembing/tombak.

Pola Gambar selanjutnya

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena perbuatan Kurawa. Brotoseno dan saudara saudaranya yaitu pendawa berlindung ke Negeri Wirata, dengan menyamar dan menghamba pada Raja Wirata
Jagal Abilawa (bermuka dan seluruh badannya hitam) adalah nama samaran dari Raden Bratasena (Wrekudara waktu masih muda). Dia menyamarkan diri, karena pada masa itu para Pandawa mendapat kemalangan oleh perbuatan Kurawa. Bratasena dan saudara-saudaranya Pandawa berlindung ke negeri Wirata, dengan menyamar dan menghamba pada raja Wirata.
Di negeri Wirata pada masa itu ada perang tanding yang diadakan oleh putera raja yang bernama Raden Rajamala. Masuklah Jagalabilawa ke gelanggang perang tanding itu, Rajamala dapat dikalahkan. Kemudian tertolonglah kesengsaraan Pandawa, kelimanya saudara itu mengabdi ke Wirata.
Bentuk dan pakaian Jagalabilawa tak beda Bratasena, hanya berambut terurai bentuk gimbal.
Raden Utara dan Wratsangka meminta jago kepada Prabu Amarta.

Gambar Wayang Kulit Kebo Gumarang



Wayang kulit gagrak Jawatimuran tokoh Kebo Gumarang.
Foto dan pertama kali diunggah oleh: Stan Hendrawidjaya
Sumber gambar : ewayang.wg.ugm.ac.id
https://www.pitoyo.com/duniawayang/galery/details.php?image_id=1187&sessionid=c0cnfeh85octtbgo1bnn6ti3d0&l=english

Thursday, September 17, 2020

Wayang Purwa dalam Bahasa Jawa


Ora mung lakone wayang kang isi pralambang. Wong kang nanggap wayani, dhalange, wayange lan kabeh ubarampene uga padha isi pralambang. Mangkene :
1. Wong kang nanggap wayang, pepindhane Hyang Maha-widdhi.
2. Dhalang = Trimurti.
3. Wayang = Para titah.
4. Kelir = angkasa (langit).
5. Debog = bantala (bumi).
6. Blencong = surya-candra lan lintang-lintang.
7. Gamelan = busananing urip, kabutuhaning manungsa (Sandhang-pangan, kasenengan lsp.)..

Tumrape manungsa :
1. Wong kang nanggap wayang' pepindhane Sang Hyang Atma (Jiwa manungsa)-
2. Dhalang : -cipta-esir, ya cipta esiring manungsa.
3. Wayang = napsuning manungsa kang pecah dadi panca {riya-'
4. Kelir = angen-angening manungsa.
5. Debog = raganing manungsa.
6. Blencong =- pitutur, (keketeging jantung kang dadi.tandhaning urip).
7. Gamelan = kabutuhaning uripe manungsa, kasenengan lsP-)

Wondene
1. Kothak (wadhah utawa papan pasimpenan wayang) = sangkan-paran (sangkane titah lan paraning titah sawisetinggal donya).
2. Gunungan utawa kayon = nggambarake urip. (Kayon saka tembung khayun = urip).
3. Cempala = nggambarake jantung.
4. Kepyak = lakuning getih

Lakon kang dicaritakake dening dhalang ana ing pagelaran wayang, emboh lakon apa bae, urut-urutaning carita ajeg padha bae, mangkene :

1. Jejer (pathet nenem) = nggambarake getering cipta.

2. Kadhatonan, Sang Prabu tetemon karo Sang Prameswari, nggambarake manunggale cipta karo rasa dadi karsa yaiku karsa nedya nganakake turun.

3. Paseban jaba, nggambarake lairing jabang-bayi-

4. Bodholan (budhaling wadyabala), nggambarake polahebayi.

5. Jejer Sabrangan, nggambarake bayi wis mundhak gedhe(dadi bocah) wiwit darbe pepenglnan.

6. Perang gagal (perange wadyabala kang kasebut ing angka 1 lumawan wadyabala ing angka 5) durung ana pepati, iku nggambarake bocah kang durung dewasa durung bisa meper pepenginane ngendhaleni kamurkane. Salebare perang gagal banjur ganti pathet songa.

7. Jejer pandhita dipurwakani gara-gara, bambang (satriya nonoman) ngadhep pandhita, nggambarake bocah wis gedhe, tinarbuka atine kapengin nggilut kawruh ngangsu ngelmu, kanggo sanguning urip ing sabanjure.

8. Adegan ing madyaning alas : danawa 3 (lan Togog, ter- kadhang karo Saraiti;. Alas iku perlambanging pepeteng (petenge ati, danawa 3 nggambarake watak angkara-murka kang njalari petenge ati Sang Bambang kepethuk danawa 3 iku, satemah dadi pancakara kang diarani perang kembang, wasanane dawana 3 iku mati kabeh. Iku nggambarake nonoman (pemudha) kang wiwit bisa ngedhaleni kamurkanane, amarga wis nggilut kawruh ngangsu ngelmu.
Salebare perang kembang banjur ganti pathet ma-nyura. Tembang ,,manyura" iku:-asale saka tembung, Jawa kuna ,mayuura, tegese : merak (araning manuk)' -Diarani pedhet-,,mayura"' (merak), jalaran pathet iku kanggone ing wayah ,,Perak'esuk"'

9. Adegan warna-warna iku nggambarake ngaurip ngalamilelakon maneka warna, kayata : bungah susah', mujur-kojur, bahagia-cilaka, asor-jaya lsp'
10. Perang brubuh mawa gendhing sampak, Ratu kang kasebut ing jejer sabrangan sawadyabalane teka ing nagarakang kasebut ing jejer kawitan (ing angka 1)' satemah dumadi perang amuk-amukan (perang brubuh)' Wasanane wadyabala saka sabrang saratune pisan sirna gempang tumpes-tapis. Manawa ratune iku malihane satriya utawa malihane putri, banjur badhar dadi rupanekang sajati. Kang mungkasi perang brubuh iku yen ing jamanePandawa mesti Bhima (werkudara) yen ing jamane Prabu Rama mesthi Hanuman' Bhima lan Hanuman iku sinebut Bayusuta, tegese : anak angin, maksude : angln cilik, yaiku : napas (ambekan)' Tandange Bhima utawa Hanuman sajrone perang brubuh nggambarake napas kang ngukut sakabehe pancadriya nalikane manungsa ngalami sekarat (sakaratilmaut)'

11. Kumpule para Ratu (sarta para rajaputra) kang kasebut ing jejer kawitan (ing angka 1) ngendikakake lega lan mareming panggalih dene wis bisa mbrastha rubeda'- satemah ing sabanjure bisa ngalami tentrem-ayem' Iku ngambarake manugsa tinggal donya kanthi tentrem- (Indonesia : meninggal dunia dengan tenang amarga wis kalis lng sawarnaning rubeda'

Andharan ing dhuwur iku salaras karo kang kasebut ing layang Wedapurwaka pupuh Dhandhanggulalan mijil

Monday, August 24, 2020

Cangik dalam pewayangan jawa

Cangik atau Cangéh adalah tokoh pewayangan Jawa, yang diceritakan sebagai seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi.

Diantara abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok ke depan, dalam bahasa Jawa disebut ?Nyangik.? Oleh karena ciri fisik inilah, ia kemudian dikenal dengan nama Cangik. Nama ?paraban? ini lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua.

Selain dagunya yang nyangik, ciri fisik lainnya adalah: dahinya nonong, matanya pecicilan, hidung sunthi, badannya kurus, rambutnya selalu digelung tekuk, kebiasaannya mengenakan ?kesemekan? dan memakai jarit motif kawung.

Cangik tergolong abdi yang serba bisa, setia, sabar, periang dan berwawasan luas. Ia sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangik bisa diajak berembug untuk mencari solusi. Ketika bendara putrinya berduka, Cangik tampil bernyanyi dan menari untuk menghiburnya.

Banyak orang beranggapan bahwa Cangik bukanlah abdi biasa, ia dapat berperan ganda sesuai dengan kebutuahan bendara putrinya. Bahkan bagi si bendara putri, Cangik dapat dijadikan pengganti orang tuanya dalam hal nasihat-nasihat yang dibutuhkan.

Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Cangik sebagai juru penerang dan sekaligus juru penghibur kepada bendaranya dan juga kepada masyarakat luas.

Sunday, August 23, 2020

Cerita wayang gugurnya Prabu Salya

Sebelum Bharatayudha pecah, tepatnya saat Kresna menjadi duta Pandawa ke Hastina untuk menawarkan jalan perdamaian, Prabu Salya memberi isyarat kepada Kresna. 

Kresna menghampiri Prabu Salya, kemudian mereka bercakap-cakap di beranda kerajaan Astina.
Saat itu Salya berkata kepada Kresna bahwa jika Bharatayudha memang benar-benar terjadi, ia ingin menitipkan suatu hal, yaitu Nakula dan Sadewa yang tak lain adalah keponakannya, putera Dewi Madrim adiknya. Mendengar permintaan Salya, Kresna pun menyanggupinya.

Bharatayudha memang benar benar terjadi. Prabu Salya dijebak oleh para Korawa sehingga dengan terpaksa ia berada di pihak Korawa. Meskipun ia berada di pihak Korawa namun sebenarnya Prabu Salya memihak kepada Pandawa. Oleh karena itu saat ia menjadi kusir kereta perang Adipati Karna, yang tak lain adalah menantunya sendiri, ia memiliki kesempatan untuk membantu Pendawa.

Saat Adipati Karna berhadapan dengan Arjuna dan siap melepas panahnya, Prabu Salya menghentakkan kakinya hingga kereta amblas masuk ke dalam lumpur. Panah yang dilepaskan Karna pun meleset dan hanya mengenai mahkota Arjuna. Disuruhnya Adipati Karna untuk memperbaiki roda kereta yang masuk ke dalam lumpur. Saat itulah Arjuna menggunakan kesempatan untuk melepaskan panah Pasopatinya, yang kemudian melesat dan memenggal kepala Adipati Karna.

Setelah kematian Adipati Karna, Prabu Salya kembali ke Mandaraka. Ia tahu bahwa setelah Karna gugur, ia yang akan diangkat menjadi senopati perang Korawa.

Sementara Prabu Kresna, penasihat Pandawa tanggap bahwa Prabu Salya bukanlah musuh yang enteng. Saat itu ia teringat akan pembicaraannya dengan Prabu Salya saat ia menjadi duta Pandawa ke Astina.

Dipanggilah Nakula dan Sadewa, disuruhlah si kembar memakai baju putih dari kain kafan kemudian ke Mandaraka untuk menghadap paman mereka yaitu Prabu Salya. Kresna berpesan kepada Nakula dan Sadewa, agar mereka segera minta mati ketika mereka sampai di depan Prabu Salya.

Nakula dan Sadewa tahu bahwa mereka dikorbankan oleh Kresna, namun mereka tetap menjalankan perintah Kresna, meskipun mereka sebenarnya sangat sayang kepada pamannya Salya.

Sesampainya di Mandaraka, Nakula dan Sadewa segera bersujud di kaki pamannya. Sesuai dengan pesan Kresna, mereka menangis dan minta mati. Salya tentu saja kaget dengan apa yang dikatakan oleh si kembar, keponakannya yang sangat ia sayangi.

Salya pun kemudian bertanya,
“ Siapa yang menyuruh kalin kemari keponakanku tersayang?”.
Nakula dan Sadewa menjawab, “
Tidak ada paman, kami datang kesini menghadap paman tidak disuruh siapa-siapa”.

Prabu Salya tersenyum saat mendengar jawaban keponakannya, ia pun lalu berkata, “ Kalian tidak bisa membohongiku, aku ini paman kalian, lebih banyak makan asam kehidupan daripada kalian, aku tahu kalian disuruh oleh Kresna bukan ?”


Nakula dan Sadewa tidak berani menjawab, mereka membisu.
Salya kemudian berkata kembali ,
” Apa yang kalian inginkan keponakanku?
Apa yang kalian inginkan dari pamanmu ini nak?”.
Nakula dan Sadewa dengan berat hati pun menjawab,”
Paman, daripada kami mati di Bharatayudha menghadapai paman, lebih baik sekarang kami minta mati di tangan paman”.

Salya tersenyum dan matanya berkaca-kaca, “ Anaku Nakula dan Sadewa, setiap aku melihat kalian, aku selalu teringat akan Madrim adikku yang telah wafat saat melahirkan kalian. Maka bagaimana aku tega membunuh kalian anaku? Katakan anakku, katakan, apa yang kalian inginkan, katakanlah…”

Nakula dan Sadewa tak dapat lagi menahan air matanya. Bagi mereka, Prabu Salya adalah satu-satunya keluarga yang masih tertingga. Ibu mereka madrim, wafat saat melahirkan mereka, sementara Pandu, ayah mereka meninggal beberapa saat kemudian karena kehabisan darah karena tertusuk keris Prabu Tremboko dari Pringgadani. Dan kini, haruskah mereka merelakan kematian paman mereka yang sangat sayang dan mengasihi mereka.Mereka pun saling terdiam dalam penuh keharuan.

Prabu Salya lalu berkata memecah keheningan, “ Anakku, segeralah kalian kembali. Katakan kepada Kresna, besok saat aku maju menjadi semopati perang Kurawa dalam Bharatayudha, agar Yudhistira yang menghadapi aku, dan sekarang segeralah kalian pulang”. Dengan berat hati dan sedih, Nakula dan Sadewa bersujud memeluk kaki pamannya yang sangat mereka sayangi.

Malam sebelum ia maju ke medan perang sebagai senopati perang Korawa, Salya bercengkerama dengan mesar bersama istrinya Pujawati. Malam itu pun Pujawati sudah menangkap kesan yang tidak biasa dari suaminya, namun salya tetap berusaha meyakinkan istrinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Saat pagi menjelang, Dewi Pujawati masih terlelap dalam tidurnya, Salya melihat wajah istrinya yang tetap cantik walau sudah berumur dan selalu setia mendampinginya. Sambil menyelimuti isteri yang sangat dicintainya, Prabu Salya berkata, “ Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat kecantikan wajahmu. istriku, maafkan aku, aku tidak mungkin memberiatahukan kepadamu akan kematianku”.Prabu Salya pun dengan baju perang berwarna putih, maju sebagai senopati perang Korawa ke medan Kurukhsetra.

Saat perang brathayuda Candrabirawa memakan korban banyak, Pandawa kewalahan menghadapi Prabu Salya. Saat itulah, Kresna meminta Yudhistira untuk maju menghadapi Prabu Salya. Pada awalnya Yudhistira menolak, karena ia sudah bertekad tidak akan maju ke medan perang dan tidak akan melukai siapapun. Mendengar jawaban itu, Kresna meminta Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa untuk bunuh diri saja. Maka dengan berat hati, Yudhistira pun maju berperang menghadapi Salya.

Dalam pewayangan, Prabu Salya Gugur oleh jimat Kalimosodo yang mengenai dadanya. Saat itu Resi Bagaspati masuk ke dalam tubuh Yudhistira, dan Candrabirawa dalam diri Salya diambil kembali oleh Resi Bagaspati sebagai pemiliknya. Pada saat itulah Yudhistira melempar jimat Kalimosodo yang tepat mengenai dada Prabu Salya.

Sementara di Mandaraka, Dewi Pujawati yang tidak melihat suaminya saat ia terbangun, menangis dan menyusul suaminya ke medan Kurukhsetra. sampai ketika hari sudah sore, dicarinya sang suami diantara ribuan mayat yang bergelimpangan. Betapa hancur hati Pujawati, saat ia menemukan mayat suaminya, diantara ribuan mayat itu. Saat itu juga, Dewi Pujawati menikamkan keris ke dadanya. Ia bela pati atas gugurnya sang suami tercinta. Bersama sukma Resi Bagaspati, dan Prabu Salya.

Saturday, August 22, 2020

Prabu Salya dalam Pewayangan Jawa

assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh
salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya  dan Salam Kebajikan

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madrim. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madrim menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata. Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Prabu Salya mempunyai sifat dan perwatakan; tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih–lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.

Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayuda oleh Prabu Yudhistrira atau Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada

Raja Salya adalah raja dari Kerajaan Madra dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai pemanah ulung dan kusir kereta yang handal.

Salya merupakan kakak Madri, istri kedua Raja Pandu, ayah para Pandawa. Menjelang terjadinya perang besar di Kurukshetra atau Bharatayudha, ia ditipu pihak Kurawa sehingga terpaksa berperang melawan para Pandawa. Salya akhirnya gugur pada hari ke-18 di tangan Yudistira.

Menurut kitab Mahabharata, Salya adalah putra Artayana Raja Madra sebelumnya. Setelah Artayana meninggal, Salya menggantikannya sebagai raja, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu raja Hastinapura yang kemudian melahirkan Nakula dan Sadewa.

Merujuk pada nama ayahnya, Salya dalam Mahabharata sering pula disebut Artayani. Versi kitab Mahabharata menyebut Salya memiliki dua orang putra bernama Rukmarata dan Rukmanggada. Namun siapa nama istrinya atau ibu dari kedua anak tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Sementara itu, versi Bharatayuddha (naskah berbahasa Jawa Kuno) menyebut nama istri Salya adalah Satyawati. Dari perkawinan itu kemudian lahir Rukmarata.

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madri. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudhana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata.

Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Dalam versi pewayangan jawa Salya yang sewaktu muda bernama Narasoma pergi berkelana karena menolak dijodohkan oleh kayahnya. Di tengah jalan ia bertemu seorang brahmana raksasa bernama Resi Bagaspati yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Bagaspati mengaku memiliki putri cantik bernama Pujawati yang mimpi bertemu Narasoma dan jatuh hati kepadanya. Narasoma menolak lamaran Bagaspati karena yakin Pujawati pasti juga berparas raksasa. Keduanya pun bertarung. Narasoma kalah dan dibawa Bagaspati ke tempat tinggalnya di Pertapaan Argabelah. Sesampainya di Argabelah, Narasoma terkejut mengetahui bahwa Pujawati ternyata benar-benar cantik. Ia pun berubah pikiran dan bersedia menikahi putri Bagaspati tersebut.

Narasoma yang sombong merasa jijik memiliki mertua seorang raksasa. Pujawati yang lugu menyampaikan hal itu kepada Bagaspati. Bagaspati menyuruh putrinya itu memilih antara ayah atau suami. Ternyata Pujawati memilih suami. Bagaspati bangga mendengarnya dan mengganti nama Pujawati menjadi Setyawati. Setyawati menyampaikan kepada Narasoma bahwa ayahnya siap mati daripada mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka. Bagaspati rela dibunuh asalkan Setyawati tidak dimadu. Setelah Narasoma bersedia tidak menikah lagi kemudian ia menusuk Bagaspati namun tidak mempan. Bagaspati sadar kalau memiliki ilmu kesaktian bernama Candabirawa. Ia pun mewariskan ilmu tersebut kepada Narasoma terlebih dulu. Narasoma kemudian menusuk siku Bagaspati, titik kelemahannya sehingga Bagaspati tewas seketika. Narasoma kemudian membawa Setyawati pulang ke Mandaraka.

Mandrapati menyambut kedatangan Narasoma dan Setyawati dengan gembira. Namun, ia berubah menjadi sedih begitu mendengar kematian Bagaspati yang ternyata merupakan sahabat baiknya. Mandrapati pun marah dan mengusir Narasoma pergi dari istana. Madri yang masih rindu segera menyusul kepergian kakaknya itu.

Narasoma dan Madri tiba di Kerajaan Mandura, tempat sayembara untuk mendapatkan putri negeri tersebut yang bernama Kunti. Dengan mengerahkan Candabirawa, Salya (Narasoma) berhasil mengalahkan semua pelamar dan memenangkan Kunti. Pandu pangeran dari Hastinapura datang terlambat dan memutuskan untuk pulang. Narasoma mencegah dan menantangnya. Namun Pandu tidak mau melayani tantangan itu karena Salya sudah ditetapkan sebagai pemenang. Salya yang sombong terus memaksa, bahkan menyerahkan Kunti dan Madri sekaligus jika Pandu mampu mengalahkan dirinya. Pandu terpaksa melayani tantangan Salya.

Salya mengerahkan ilmu Candabirawa. Dari jarinya muncul raksasa kerdil tapi ganas, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Pandu sempat terdesak, namun atas nasihat pembantunya yang bernama Semar, ia pun mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada Tuhan. Dengan cara tersebut, Candabirawa justru lumpuh dengan sendirinya. Salya menyerah kalah. Tujuannya ikut sayembara bukan karena menginginkan Kunti, namun hanya sekadar untuk mencoba keampuhan Candabirawa saja. Sesuai perjanjian, Kunti dan Madri pun diserahkan kepada Pandu.

Salya kembali ke Mandaraka dan dikejutkan oleh kematian ayahnya. Konon, Mandrapati sangat sedih atas kematian Bagaspati yang tewas dibunuh Salya. Ia merasa telah gagal menjadi ayah yang baik dan memutuskan untuk bunuh diri menyusul sahabatnya itu. Narasoma kemudian menggantikan kedudukan Mandrapati sebagai raja, bergelar Salya. Pemerintahannya didampingi Tuhayata sebagai patih.

Dalam masa pemerintahannya, ia langsung menerima lamaran Duryudhana, raja Hastinapura untuk menikahi Erawati, putri sulungnya. Namun, Erawati kemudian hilang diculik orang. Erawati berhasil diselamatkan oleh Baladewa yang saat itu menyamar sebagai pendeta muda. Menurut perjanjian, seharusnya Erawati diserahkan kepada Baladewa. Namun hal itu ditunda-tunda karena Salya lebih suka memiliki menantu seorang raja. Setelah ia tahu bahwa Baladewa adalah raja Kerajaan Mandura, Erawati pun diserahkan kepadanya.

Salya kembali menerima lamaran Duryudhana untuk Surtikanti. Namun putri keduanya itu diculik dan dinikahi Karna. Duryudhana merelakannya karena Karna banyak berjasa kepadanya. Ia kemudian menikahi putri Salya yang lain, yaitu Banowati. (cerita tersebut diatas ada di pewayangan jawa dan tidak ada dalam cerita Mahabharata india)

Tokoh Kresna dalam Pewayangan Jawa


dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati atau Dwaraka, kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara tetapi dalam versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan. Kakaknya bernama Baladewa atau Balarama alias Kakrasana dan adiknya dikenal sebagai Sembadra atau Subadra, Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama.

Menurut pewayangan jawa anak-anak kresna adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, dia berperan sebagai sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding, dia memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan dia dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".

Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Thursday, August 20, 2020

Cerita wayang - Kresna Duta

Kresna Duta

Pandawa telah selesai menjalani masa pembuangan dan pengasingan selama 13 tahun. Sudah menjadi hak Pandawa untuk kembali mendapatkan Astina dan Amarta kembali yang diambil oleh Kurawa. Untuk itu, para Pandawa meminta bantuan Sri Kresna untuk menjadi duta Pandawa dalam menempuh jalan damai antara Pandawa dan Korawa.

Sri Kresna berangkat ke Astina dengan dikusiri oleh Sencaki. Setibanya di Astina, Kresna segera menuju tempat Arya Widura untuk member hormat kepada IbuKunti dan paman Widura.

Sementara, tetua dan pembesar-pembesar Astina telah berkumpul di aula kerajaan menunggu kedatangan duta Pandawa tersebut.

Kresna memasuka aula kerajaan dan kemudian menyampaikan kedatangannya yaitu sebagai duta Pandawa. Pandawa yang telah selesai menjalani hukuman, ingin meminta haknya kembali atas Indraprastha (Amarta).

Sejak awal, Kurawa memang tidak ingin mengembalikan Amarta kepada Pandawa. Prabu Duryudana pun menolak permintaan Sri Kresna. Duryudana memberikan berbagai alasan yang memang sudah direncakan untuk memperkuat alasan mereka mengapa tidak ingin mengembalikan Indraprastha kepada Pandawa.

Doryudana mengatakan bahwa tindakan Pandawa mengadakan upacara Rajasuya menunjukkan bahwa Pandawa mengagungkan diri mereka sendiri.

Sri Kresna kemudian menjawab bahwa Rajasuya itu bukan merupakan keputusan Yudhistira melainkan merupakan kesepakatan raja-raja yang mengakui Yudhistira sebagai raja arif bijaksana.

Doryudana kemudian berdalih bahwa para Pandawa telah melanggar hukuman ketika terjadi perselisihan antara Hastina dan Wirata. Pandawa telah menampakkan diri dan bahkan mengangkat senjata terhadap para Korawa.

Sri Kresna kemudian membalas bahwa saat itu menurut hitungannya, para Pandawa sudah terlepas dari masa hukuman dan mereka mengangkat senjata karena saat itu mereka sedang mengabdi di Wirata . Sebagai penduduk Wirata sudah menjadi kewajiban mereka untuk mengangkat senjata demi membela Negara.

Mendengar perdebatan antara Duryudana dan Kresna, Eyang Bisma berusaha menengahi. Namun, usahanya ternyata sia-sia. Duryudana justru menganggap bahwa Eyang Bisma memang lebih memilih Pandawa daripada Korawa.

Akhirnya, Sri Kresna menanyakan keputusan Korawa untuk terakhir kalinya, apakah Doryudana akan mengembalikan hak Indraprastha kepada Pandawa atau tidak.

“Para Pandawa telah menghina keluarga Hastina terutama Korawa, semua Korawa telah sepakat tidak akan duduk setingkat dengan para Pandawa dan tidak akan mengembalikan Indraprastha”, Jawab Doryudana.

Jawaban itu membuat Sri kresna kesal dan kemudian ia berkata, “ Doryudana, para tetua disini akan menjadi saksi atas perkataanmu, perkataanmu ini harus kau pertangunggjawabkan di kemudian hari. Aku akan memberitahukan keputusanmu kepada Pandawa!”.

Sri Kresna kemudian meninggalkan gedung pertemuan. Ia menuju ke sebuah taman di dalam istana Hastina. Tampak matanya bersinar tanda amarhnya telah memuncak. Kresna bertriwikrama, berubah ujud menjadi Brahala, makhluk raksasa yang luar biasa besar.

triwikrama Kresna membuat seluruh Astina gempar dan ketakutan. Para Korawa berlarian kesana kemarin mencari tempat bersembunyi.Resi Drona yang juga ketakutan tidak berani meninggalkan gedung. Sementara Eyang Bisma dan Arya Widura dengan tenang meninggalkan gedung pertemuan tanpa rasa takut seperti tidak terjadi apa-apa.

triwikrama Bathara Wisnu juga membuat gempar kahyangan. Para dewa khawatir dan turun untuk melihat triwikrama Sri Kresna.

Para dewa bingung bagaimana harus menghentikan triwikrama Sri Kresna. Maka mereka memutuskan, untuk menjemput Bathara Darma untuk menenangkan kemarahan triwikrama.

Dewa kebijaksanaan dan kesabaran tersebut pean-pelan mendekati triwikrama dan memberi hormat.

Sang Tiwikarma menjawab dengan sebuah peringatan, “ Ger gerrr.. gerr jangan dekat dekat Dharma, jika kau tidak ingin kucabik-cabik tubuhmu”.

“Aku bukanlah musuhmu wahai triwikrama, bahkan aku bersedia membantumu untuk mengalahkan musuhmu”, jawab Bathara Dharma.

“Aku tidak butuh bantuanmu untuk menghancurkan Korawa-Korawa sombong ini”, jawab sang triwikrama.

Bathara kemudian menuturkan,” Sesakti itukah para Korawa, sehingga perlu dihancurkan oleh triwikrama? Apakah kejahatan mereka mengguncang mayapada seperti Rahwana? Apakah perlu Tiwikarama yang sakti sebagai wakil dewata untuk turun tangan menghancurkan Kejahatan Korawa?”

“ Saudara Wisnu mohon ingat bahwa jika Korawa dihancurkan oleh triwikrama ini akan membuat malu bagi seluruh Dewata. Apakah para Pandawa tak dapat membela diri mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan para dewata? Mohon adik Wisnu memperhitungkan lagi tindakan ini yang akan mencoreng muka seluruh dewata dan juga memalukan Pandawa.”

Mendengar penuturan Batara darma, dalam sekejap triwikrama itu menghilang dan kembali sebagai Sri Kresna.

Sri Kresna kemudian ke tempat paman Widura untuk mohon diri dan member hormat kepada Arya Widura dan ibu Kunti. Ia pergi meninggalkan Hastina untuk menyampaikan berita hasil pertemuan dengan Korawa kepada para Pandawa.

Tuesday, August 11, 2020

Bilung dan Togog

BERBICARA tentang punakawan dalam dunia pewayangan, yang selalu ada dalam benak kita hanyalah “Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.” Sedikit dari masyarakat Indonesia -- kecuali orang Jawa Tulen – yang mengenal dua tokoh punakawan bernama Togog dan Mbilung. Berbeda dengan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebagai pendamping para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat baik atau berakhlak mulia, sedangkan Togog dan Mbilung bertugas mendampingi para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat angkara murka atau berakhlak tercela.

Bagi yang sudah tahu Togog dan Mbilung akan mengkategorikan kedua tokoh itu sebagai punakawan oportunitis. Karena, keduanya tidak pernah setia pada satu raja saja. Sebenarnya, mereka mengabdi bukan karena oportunitis, melainkan tugas mereka selesai dengan kalahnya raja mereka di tangan tokoh protagonis dalam sebuah lakon.

Sebenarnya, tugas Togog dan Mbilung sama seperti Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing raja mereka. Namun, tugas Togog dan Mbilung lebih sukar, pasalnya mereka harus meluruskan bibit-bibit keangkaramurkaan yang telah nampak pada raja mereka. Saat sang raja sudah tidak menggubris mereka, sampai situlah tugas mereka

Kedua tokoh tersebut memiliki keunikan dalam dunia pewayangan Jawa. Togog dan bilung berbicara dengan dua bahasa yang berbeda. Togog berbahasa Jawa sedangkan bilung berbahasa melayu. Uniknya, meski berbeda bahasa, keduanya saling mengerti satu dengan yang lainnya saat berbicara. Dalam dunia pewayangan, Togog selalu digambarkan dengan sosok berbibir dower sedangkan bilung selalu menggunakan pakaian yang memiliki ciri khas pakaian melayu.

Meskipun Togog dan Mbilung memiliki tugas yang sama dengan Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing rajanya ke jalan yang lurus, Togog dan Mbilung lebih terjun pada raja yang sudah dzalim. Tugas mereka berdua jauh lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya. Tugas Togog dan Mbilung seperti meluruskan benang basah atau mencari jarum di dalam tumpukkan jerami.

Bila dibandingkan dengan Semar dan anak-anaknya, Togog dan Mbilung jauh lebih kritis, cenderung “pedas” mengritisi atasan mereka. Hanya saja, kritiknya tersebut kurang diperhatikan oleh sang raja. Banyak alasannya, namun mungkin saja apa yang dibicarakan Togog dan Mbilung tidak dipahami oleh sang raja. Maklum saja, dengan bibir yang dower, bahasa yang keluar dari mulut Togog kurang didengar dengan jelas dan bahasa melayu yang digunakan oleh Mbilung maka pesan yang disampaikan tidak dipahami oleh sang raja, karena sang raja tidak begitu mengerti bahasa melayu.

Togog dan Mbilung memang digambarkan selalu mengikuti raja yang berwatak jahat, namun bukan berarti mengabdi kepada kejahatan. Sanggit watak tersebut dapat diartikan bahwa keduanya selalu berkaitan dengan upaya memberantas kejahatan. Artinya, di mana ada keangkaramurkaan, di situ harus ada sosok Togog dan Mbilung. Bukankah itu sama dengan fungsi polisi? Di mana ada kejahatan, di situ harus ada polisi. Sekecil apapun bentuk kejahatan itu. Mungkin nama ‘Bayangkara’ hanya kebetulan, namun kenyataan menunjukkan bahwa tugas-tugas polisi selalu berdekatan dengan bebaya lan angkara atau bahaya, kejahatan dan keangkaramurkaan. Sama dengan tugas yang harus diemban oleh Togog dan Mbilung. Dan nasib Polisi – dalam banyak hal -- ‘sama’ dengan Togog dan Mbilung. Sering bertarung dengan ‘hati nurani sendiri’, karena harus berpihak pada para pemangku kepentingan yang lebih dominan. Memang berat, tetapi harus dilakukan demi tugasnya sebagai ‘pendamping’ para Raja atau Ksatria yang kadang-kadang lupa akan amanahnya sebagai Pemimpin.

Saturday, August 8, 2020

Mengenal tokoh wayang Dursasana

Dursasana atau Duhsasana adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik Duryodana, pemimpin para Korawa, putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gandari. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa.

Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam Sabhaparwa , yang mengisahkan permainan dadu antara lima Pandawa melawan seratus Korawa. Dropadi, istri para Pandawa menjadi budak para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi tidak berhasil berkat pertolongan Kresna. Peristiwa itu memperkeruh permusuhannya dengan Bima. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam perang di Kurukshetra pada hari ke-16.


Dalam pewayangan Jawa,
Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala. Ia digambarkan sebagai wayang dengan tubuh yang gagah, bermulut lebar, dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, gemar menggoda wanita, dan senang menghina orang lain.
Nama Duhsasana terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".
Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam keadaan tidak wajar. Dikisahkan bahwa Gandari merasa iri terhadap Kunti, iparnya sendiri yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira, sementara ia belum melahirkan meskipun sudah hamil tua. Dalam frustasi, Gandari memukul-mukul kandungannya sehingga mengeluarkan segumpal daging berwarna keabu-abuan dari rahimnya. Resi Byasa, paman suaminya segera dipanggil ke istana untuk mengatasi keanehan tersebut. Berkat pengetahuannya, daging tersebut dibelah sampai berjumlah seratus potongan. Ia memasukkan potongan daging tersebut, masing-masing ke dalam sebuah pot, lalu menguburnya di dalam tanah.

Setahun kemudian, salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama Duryodana, yang lahir bersamaan dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama Bimasena. Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran Arjuna, putra ketiga Kunti. Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.

Sebanyak 100 orang putra Dretarastra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pandawa. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa meskipun bersaudara sepupu, Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat iri hati, karena Yudistira dicalonkan sebagai penerus takhta. Di samping itu, mereka diajarkan cara-cara untuk mencelakai para Pandawa oleh paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari yang memiliki dendam terhadap Dinasti Kuru.

Cerita Dursasana dalam Versi pewayangan Jawa

Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjunut. Istrinya bernama Dewi Saltani, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.
Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai putra mahkota yang baru. Namun, Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke Hastina dengan alasan menjaga Dewi Banowati, kakak iparnya. Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Sebagai balasannya, Dursasana membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Sebagai pembenaran, ia menuding bahwa Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.

Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial. Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.

Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga ia itu gagal mencapai sungai. Bima segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling. Melihat adiknya tersiksa, Duryudana segera memohon agar Bima mengampuni Dursasana, bahkan ia menjanjikan bahwa perang dapat berakhir pada hari itu juga, dengan Pandawa sebagai pemenangnya. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dibebaskan.

Penawaran dari Duryodana membuat Bima bimbang. Tetapi Kresna, penasihat para Pandawa mendesaknya supaya tidak mengampuni Dursasana. Menurutnya, Pandawa pasti menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna yang mengingatkan kembali kekejaman para Korawa, berhasil membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh, kemudian memutus kedua lengan Dursasana secara paksa. Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil. Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.

Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya.

Tokoh karakter Wayang Kapi Menda

Kapi Menda


Kapi Menda dahulunya berwujud manusia. Ia adalah cantrik Resi Gotama di pertapaan Erraya/Grastina dan menjadi pengasuh Sugriwa/Guwarsa, akibat peristiwa rebutan Cupumanik Astagina dan ikut terjun ke dalam telaga Sumala, Menda berubah wujud menjadi wanara/kera dan namanya menjadi Kapimenda.
Seperti halnya Sugriwa, Kapimenda juga melakukan tapa ngidang karena ingin berubah wujud kembali menjadi manusia. Karena tapanya itu, ia menjadi sangat sakti. Kapimenda berwatak; jujur, setia dan sangat patuh, ketika Sugriwa menjadi raja kerajaan Gowa Kiskenda, Kapimenda diangkat menjadi patih khusus dalam urusan keraton dan keprajuritan.





Kapimenda mempunyai andil yang sangat besar dalam mengamankan pembuatan tambak/jembatan penyeberangan di atas laut untuk menyeberangkan jutaan balatentara kera Alengka. Ia berhasil membunuh Yuyurumpung, raksasa berkepala ketam/yuyu punggawa Prabu Dasamuka yang selalu merobohkan bangunan tambak. Dalam perang Alengka, Kapimenda tampil sebagai salah satu senapati mendampingi Prabu Sugriwa tatkala menghadapi Arya Kumbakarna, adik Prabu Dasamuka dari kesatrian/negara Leburgangsa. Laskar perangnya berhasil mengobrak-abrik dan memukul mundur balatentara raksasa Lemburgangsa.

Setelah perang Alengka berakhir, Kapimenda melanjutkan tapanya di hutan Suryapringga. Akhir hidupnya tak banyak diketahui sebagaimana halnya wanara lainnya.

Sunday, August 2, 2020

Cakil dalam Pewayangan

Cakil
CAKIL, tokoh raksasa dalam dunia pewayangan, khususnya pada Wayang Purwa. Meskipun Cakil bukan termasuk raksasa yang berukuran tubuh besar, bentuk penampilannya mudah dikenali. Rahang bawahnya menonjol panjang ke depan dengan satu gigi bawah mencuat panjang ke atas. Matanya selalu mengeriyip, agak memicing.

Selain itu warna suaranya juga khas, seperti suara orang tercekik, nadanya tinggi, berbeda dengan suara raksasa pada umumnya yang bernada rendah dan lantang. Hampir dalam setiap lakon ia muncul sebagai ‘komandan’ pasukan raksasa yang bertugas menjaga atau tapal batas kerajaan tertentu, Namun, dalam beberapa lakon tertentu Cakil juga tampil dengan peran menonjol.

Cakil muncul dalam lakon-lakon wayang dengan berbagai nama, antara lain Ditya Kala Gendir Penjalin, Ditya Kala Carang Aking, Kala Klantang Mimis. Ki Dalang kadang-kadang bahkan menciptakan nama baru bagi tokoh ini. Ia merupakan satu-satunya raksasa yang bersenjata keris, bukan satu tetapi dua, kadang-kadang tiga, tetapi selalu mati tertusuk kerisnya sendiri.

Tokoh peraga wayang Cakil oleh kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak digelung.

Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang Orang.

Refersensi lain

Kita tidak lagi asing terhadap sastra kuno Mahabrata yang selama ini kita ketahui berasal dari India. Namun, tidak seluruhnya cerita memiliki alur dan kisah yang sama jika dibandingkan dengan cerita adaptasi Indonesia.

Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Selain itu, versi Indonesia juga memiliki wayang kulit yang berasal dari Jawa maupun Bali sebagai media penghantar pengkisahan yang dilakukan oleh para dalang. Kisah asal-mula beberapa karakter tentunya memiliki beberapa perbedaan contohnya; dalam versi India, Gandari sangat menyayangi Pandawa meskipun beliau bukan anaknya. Sebaliknya dalam versi Indonesia, Gandari sangat membenci Pandawa.

Adapun karakter yang tidak dapat ditemukan dalam versi India seperti Buto Cakil. Karakter Buto Cakil ataupun yang sangat dikenal dengan sebutan Cakil ini merupakan 100% inovasi Jawa. Julukannya biasa dipanggil Gendir Penjalin dan memiliki wujud raksasa dengan ciri fisik rahang bawah yang maju ke depan. Tak heran beberapa komunitas motor terkadang menyebut helm serupa cakil karena sangat mirip dengan bentuk fisik tokoh tersebut. Meskipun berbentuk raksasa dan termasuk antagonis, Buto Cakil merupakan karakter yang mudah disukai. Buto Cakil tidak garang ganas pemarah seperti raksasa biasanya, justru ia suka bergurau dan suka bersenang-senang. Meskipun ia sangat humoristis, Buto Cakil merupukan tokoh yang pantang menyerah dan kukuh memegang kepecayaannya dan selalu berjuang sampai akhir hingga titik darah penghabisan.

Cakil bukanlah seorang yang tangguh. Ia sangat pasif dan tidak suka cari perkara dengan raksasa lain ataupun satria yang terlihat sangat kuat dan megah. Oleh sebab itu, ia sukanya mencegat ksatria kerempeng berpembawaan halus, atau ksatria muda lembut yang sekiranya mudah untuk dikalahkan. Itulah sebabnya, dalam Perang Kembang, Cakil selalu dipertemukan dengan Arjuna. Dalam setiap penampilan Buto Cakil yang dipaparkan, dia selalu bertempur dengan Arjuna yang baru turun keluar dari pertapaan di pelosok. Arjuna versi Jawa, sosoknya bertubuh langsing, halus gerak geriknya, dan saat keluar dari pertapaan, tidak menyandang pakaian kebesaran ksatria, tapi berpenampilan apa adanya. Pada kisah lain, Buto Cakil bertempur dengan Bambangan, ksatria muda yang baru keluar dari padepokan. Biasanya adalah putra Arjuna yang dalam setiap kegiatan blusukannya tak lupa menikahi perawan desa putra pertapa. Bisa dikatakan bahwa Cakil merupakan seorang yang pengecut atau orang yang sangat berjaga-jaga dalam memilih lawan. Bagaimanapun juga, Cakil dikenal selalu mati oleh tangannya sendiri. Di cerita Perang Kembang, ia tertusuk oleh kerisnya. Cakil mengajarkan kita bahwa orang yang berperilaku buruk di masa lalu dapat mendatangkan musibah bagi diri sendiri.
Tidak ada yang yakin pasti darimanakah Buto Cakil benar-benar berasal. 

Siapakah orang tua Cakil sebenarnya? Apakah dia seorang yatim-piatu yang kemudian diangkat oleh para raksasa? Sebagian besar orang mengatakan bahwa Cakil adalah sisi lain Arjuna. Kita tahu bahwa Arjuna terkenal dengan kebaikan dan kelemahlembutannya. Namun, ia juga terkenal dangan julukan Danasmara (perayu ulung) dan Janaka (memiliki banyak istri). Layaknya satria pemadi dan pemberani, dapat dikatakan bahwa Arjuna lemah dalam mengendalikan hawa nafsu birahi. Arjuna pernah dikisahkan telah memperkosa Dewi Anggraeni yang telah menolak cintanya. Ditengah-tengah hutan ditinggalnya Dewi Anggreni dalam keadaan hamil membuat hidup sang dewi sangat menderita dan diliputi kebencian serta dendam yang sangat mendalam pada Arjuna. Setelah berhasil melahirkan bayinya, Dewi Anggraeni meninggal dunia. Bayi yang dilahirkannya berwujud raksasa sebagai lambang nafsu bejat Arjuna dan dendam sang Dewi. Kelak kemudian hari bayi inilah yang dipanggil Cakil, anak hasil pemerkosaan Arjuna pada Dewi Anggraeni.

Jadi, bagaimana pendapat anda jika mendengar kisah tersembunyi tersebut? Apakah Arjuna perlu dihukum atas perlakuannya? Haruskah Buto Cakil mendapatkan balas dendam kepada Arjuna? Apa ini sebabnya mereka selalu dipertemukan? Pertemuan dan kisah antara Arjuna dan Cakil akan selalu menjadi hal yang lebih dari unik dalam kisah Mahabrata versi Jawa.

Friday, July 31, 2020

ANOMAN KRODHA | TIWIKRAMA



Semakin besar tubuh Anoman maka semakin besar juga kekuatannya. Anoman mampu membesar bertahap mulai dari tujuh kali lipat, tujuh puluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat hingga tujuh ribu kali lipat dari ukuran semula. Bahkan besar tubuh Anoman Krodha mampu menyamai besar tubuh Brahala Sewu dan Dewa Amral. Kekuatan lengan-lengan Anoman Krodha mampu mencabut gunung dari tempatnya dan menggeser posisi matahari & bulan di langit.
Injakan kaki Anoman Krodha mampu membuat gempa dan membelah bumi, serta nafas Anoman mampu membakar hutan-hutan dan menguapkan lautan. Tebasan Kuku Pancanaka milik Anoman juga mampu membelah gunung dan lautan. Bila mengibas-ngibaskan. Tokoh ini merupakan tokoh akulturasi dari Mitolgi Hinduisme yang di-sanggit oleh para Pujangga Jawa.





Triwikrama atau sering disebut Tiwikrama adalah kemampuan titisan Wisnu dan beberapa makhluk lainnya untuk berubah ujud menjadi raksasa yang amat besar, bertangan seribu yang disebut brahala.
Dalam pewayangan, tokoh titisan Wisnu yang tergolong sering melakukan Tiwikrama adalah Arjuna Sasrabahu dan Kresna.
Selain titisan Wisnu, Dasamuka juga bisa bertiwikrama. Dalam keadaan biasa, Dasamuka hanya berkepala satu. Namun, ketika bertiwikrama ia berkepala sepuluh dan tubuhnya menjadi jauh lebih besar.

Dalam lakon carangan berjudul Dewa Amral. Prabu Yudhistira juga melakukan triwikrama. Begitu juga Anoman, beberapa buku pewayangan menyebutkan putra Dewi Anjani itu juga sanggup melakukan tiwikrama. Misalnya ketika ia menjadi duta, waktu ia menyeberangi lautan, Anoman diterkam Wilkataksani dan ditelannya. Saat Anoman berada di dalam tenggorokan raksasa itu, ia melakukan tiwikrama sehingga leher raksasa itu bedah dan Wikataksani mati seketika.
Dalam seni kriya, khusus untuk Kresna, Arjuna dan Puntadewa, peraga wayang yang menggambarkan keadaan tiwikrama disebut brahala.
Pada pewayangan gagrak Jawatimuran, Antareja yang sedang tiwikrama dilukisakan berwajah ular naga dan badannya bersisik. Arjunasasrabahu dan Dasamuka, jika sedang tiwikrama digambarkan bertangan banyak. Tangan-tangan kecil ditambahkan pada bahu dan lengannya.

Tuesday, July 28, 2020

Tiwikrama adalah

bagi kita yang senang mengikuti atau menonton pagelaran wayang pasti tahu apa itu Tiwikarma? Tiwikarma adalah suatu ajian atau kemampuan untuk merubah diri menjadi Raksasa yang tak terkalahkan. Dalam lakon Kresna Duta, Sri Kresna sebagai utusan pihak Pandawa tak mampu menahan amarahnya tatkala mendengar jawaban dan melihat kelakuan Duryudana dalam menempik janji mereka untuk menyerahkan kembali kerajaan astina pada Pandawa meskipun telah diperingatkan tetua Astina seperti Resi Bisma dan lainnya.
atau juga ada yang menyebutkan bahwa Tiwikrama adalah kemampuan titisan Wisnu dan beberapa makhluk lainnya untuk berubah ujud menjadi raksasa yang amat besar, bertangan seribu yang disebut brahala. Dalam pewayangan, tokoh titisan Wisnu yang tergolong sering melakukan Tiwikrama adalah Arjuna Sasrabahu dan Kresna. Selain titisan Wisnu, Dasamuka juga bisa bertiwikrama. Dalam keadaan biasa, Dasamuka hanya berkepala satu. Tak hanya Sri Kresna yang memiliki kemampuan ini, Puntadewa atau Yudistira pun mampu merubah perangai aslinya yang lembut menjadi sosok yang mengerikan.
(Gambar kiri merupakan Anoman dalam kondisi Krodha koleksi Ki Kondang Sutrisno dan gambar kanan merupakan Anoman dalam kondisi normal).




gambar dari : wayang.id



Beberapa tokoh lainnya pun memiliki kemampuan serupa melakukannya.
salah satu contoh tiwikarma yaitu Anoman, beberapa buku pewayangan menyebutkan putra Dewi Anjani itu juga sanggup melakukan tiwikrama. Misalnya ketika ia menjadi duta, waktu ia menyeberangi lautan, Anoman diterkam Wilkataksani dan ditelannya. Saat Anoman berada di dalam tenggorokan raksasa itu, ia melakukan tiwikrama sehingga leher raksasa itu bedah dan Wikataksani mati seketika. Dalam seni kriya, khusus untuk Kresna, Arjuna dan Puntadewa, peraga wayang yang menggambarkan keadaan tiwikrama disebut brahala. Pada pewayangan Jawatimuran

Thursday, July 23, 2020

DURYUDANA dalam Bahasa Jawa

DURYUDANA


Duryodana utawa Duryudana iku ratu ing Ngastina (Hastina) Ing layang Mahabharata karan Droyudhana. Dasanamane miturut padhalangan: Suyudana, Jakapitana,Jayapitana, Kurupati, Gendharisuta, Dhasthaputra, Tri Mamangsah. Duryudana iku putrane Prabu Dhestharastra lan Dewi Gendhari sing tuwa dhéwé. Nalika lair ora salumrahe bayi, nanging wujud tengkelan daging, kaya tugelan daging kebo. Daging mau polah kroncalan. Déning Dewi Gendari daging ditendhang sakayange, satemah sigar dadi loro. Dewi Gendari saya duka. Sigarane daging sing sijiné diidhak-idhak, satemah ajur dadi pirang-pirang, pating kruget kaya singgat. Daging mau banjur ditutupi godhong lumbu. Daging sing gedhé dhéwé dadi bayi loro, Duryudana lan Dursasana. Déné daging sing cilik-cilik dadi adhi-adhine kang banjur karan Sata Kurawa. Tembung Sata tegesé satus (sanadyan cacahé 101), déné Kurawa iku mengku teges darah Kuru.
Duryudana sa adhi-adhine iku watake angkara murka, srei, jail-methakil, jalaran tansah diapusi lan diojok-ojoki déning bapa pamane, Patih Harya Sengkuni (Sakuni). Bedha karo Prabu Dasamuka, nata ing Ngalengka kae, sanajan padha-padha watake angkara murka, nanging yèn Dasamuka kabèh tumindhake sing angkara murka iku tukul saka prentule atine dhéwé. Déné yèn Duryudana anggoné duwé watak angkara murka amarga disetir déning Patih Sengkuni. Mula Duryudana iya banjur tansah mungsuhi marang para Pandhawa.
Garwa prameswarine Prabu Duryudana sesilih Dewi Banowati, putrine Prabu Salya ing Mandaraka. Sanadyan Duryudana iku wujudé cakrak, gantheng, nanging emane bodho banget. Pikirane landhep dhengkul. Isih ketambahan watake angkara murka. Muloa ora ana putri sing seneng karo dhèwèké. Nalika arep ngrabi karo Dewi Erawati (putri pembayune Prabu Salya), direbut utawa kalah dhisik karo Raden Kakrasana (Prabu Baladewa). Arep péngin ngrabi Dewi Surtikanthi (putrine Prabu Salya sing angka loro), didhisiki Suryatmaja (Adipati Karna). Wasana bisa dhaup karo Dewi Banowati amarga pitulungane Raden Permadi (Arjuna).Satemene Banowati ora duwé rasa tresna marang Duryudana, jalaran Banowati wis luwih dhisik sesambungan tresna marang Permadi.
Miniatur wayang Duryudana
Mula Banowati njaluk bebana: Gajah Putih, sratine putri sulisttya. Duryudana bisa miangkani bebana mau marga pitulungane Permadi. Banowati banjur njaluk bebana manèh: Patah (sing ngampingi penganten) putri ayu lan satriya bagus sing ngungkuli para priya ing Mandaraka. Kuwajibane patah iki ndandani manten putri sing ora liya sing dikarepake iya Permadi iku. Prabu Duryudana iya banjur utasan marang Patih Sengkuni ana pratapan Wukir Retawu ana ngarsane Begawan Abiyasa saperlu arep nyuwun ngampil Permadi supaya maesi temanten putri. Panembahan Abiyasa iya marengake Permadi kaboyong ana Mandaraka saperlu maesi temanten putri. Mula iya ora mokal, yèn Banowati kang banjur dadi garwane Prabu Duryudana iku satemene wis ora prawan manèh amarga diprawani Permadi. Saka anggoné bebrayan Banowati duwé anak loro lanang-wadhon, kang sesilih Raden Lesmana Mandrakumara iya Sarojakesuma lan Dewi Lesmanawati. Akèh sing mawastani yèn anak loro iki sejatine dudu anaké Duryudana, nanging ana uga kang nyebut yèn ramane Leksmanawati iku Arjuna.

bola-bali meh kasoran. Pungkasane Werkudara bisa ngerti yèn pengapesane Duryudana ana ing pupune (wentise)kang sisih kiwa. Nalika Duryudana lena kaprayitnane, wentise digitik nganggo gadha Rujakpolo déning Werkudara saéngga kuwandane Duryudana jengkelang gumebruk ing bantala. Nuli musthane dikepruk nganggo gadha lan pasuryane diungsep-ungsepake ana wadhas curi saéngga wewujudane memper jrangkong. Ana kaanan sekarat, Duryudana isih kober nguman-uman marang Werkudara lan para Pandhawa liyané. Diunek-unekake kaya mangkono iku Werkudara meh baé muntab kanepsone nanging dipenggak Prabu Kresna. Wusanane Duryudana enthek dayane lan banjur mati kanthi aniyaya ana sajeroning paprangan Baratayuda kang pungkasan, mbarengi ambruke nagara Ngastina. Mula perang iki banjur karan carita "Rubuhan Duryudana Gugur".


DURYUDANA dalam Bahasa Indonesia

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...