Sunday, August 23, 2020

Cerita wayang gugurnya Prabu Salya

Sebelum Bharatayudha pecah, tepatnya saat Kresna menjadi duta Pandawa ke Hastina untuk menawarkan jalan perdamaian, Prabu Salya memberi isyarat kepada Kresna. 

Kresna menghampiri Prabu Salya, kemudian mereka bercakap-cakap di beranda kerajaan Astina.
Saat itu Salya berkata kepada Kresna bahwa jika Bharatayudha memang benar-benar terjadi, ia ingin menitipkan suatu hal, yaitu Nakula dan Sadewa yang tak lain adalah keponakannya, putera Dewi Madrim adiknya. Mendengar permintaan Salya, Kresna pun menyanggupinya.

Bharatayudha memang benar benar terjadi. Prabu Salya dijebak oleh para Korawa sehingga dengan terpaksa ia berada di pihak Korawa. Meskipun ia berada di pihak Korawa namun sebenarnya Prabu Salya memihak kepada Pandawa. Oleh karena itu saat ia menjadi kusir kereta perang Adipati Karna, yang tak lain adalah menantunya sendiri, ia memiliki kesempatan untuk membantu Pendawa.

Saat Adipati Karna berhadapan dengan Arjuna dan siap melepas panahnya, Prabu Salya menghentakkan kakinya hingga kereta amblas masuk ke dalam lumpur. Panah yang dilepaskan Karna pun meleset dan hanya mengenai mahkota Arjuna. Disuruhnya Adipati Karna untuk memperbaiki roda kereta yang masuk ke dalam lumpur. Saat itulah Arjuna menggunakan kesempatan untuk melepaskan panah Pasopatinya, yang kemudian melesat dan memenggal kepala Adipati Karna.

Setelah kematian Adipati Karna, Prabu Salya kembali ke Mandaraka. Ia tahu bahwa setelah Karna gugur, ia yang akan diangkat menjadi senopati perang Korawa.

Sementara Prabu Kresna, penasihat Pandawa tanggap bahwa Prabu Salya bukanlah musuh yang enteng. Saat itu ia teringat akan pembicaraannya dengan Prabu Salya saat ia menjadi duta Pandawa ke Astina.

Dipanggilah Nakula dan Sadewa, disuruhlah si kembar memakai baju putih dari kain kafan kemudian ke Mandaraka untuk menghadap paman mereka yaitu Prabu Salya. Kresna berpesan kepada Nakula dan Sadewa, agar mereka segera minta mati ketika mereka sampai di depan Prabu Salya.

Nakula dan Sadewa tahu bahwa mereka dikorbankan oleh Kresna, namun mereka tetap menjalankan perintah Kresna, meskipun mereka sebenarnya sangat sayang kepada pamannya Salya.

Sesampainya di Mandaraka, Nakula dan Sadewa segera bersujud di kaki pamannya. Sesuai dengan pesan Kresna, mereka menangis dan minta mati. Salya tentu saja kaget dengan apa yang dikatakan oleh si kembar, keponakannya yang sangat ia sayangi.

Salya pun kemudian bertanya,
“ Siapa yang menyuruh kalin kemari keponakanku tersayang?”.
Nakula dan Sadewa menjawab, “
Tidak ada paman, kami datang kesini menghadap paman tidak disuruh siapa-siapa”.

Prabu Salya tersenyum saat mendengar jawaban keponakannya, ia pun lalu berkata, “ Kalian tidak bisa membohongiku, aku ini paman kalian, lebih banyak makan asam kehidupan daripada kalian, aku tahu kalian disuruh oleh Kresna bukan ?”


Nakula dan Sadewa tidak berani menjawab, mereka membisu.
Salya kemudian berkata kembali ,
” Apa yang kalian inginkan keponakanku?
Apa yang kalian inginkan dari pamanmu ini nak?”.
Nakula dan Sadewa dengan berat hati pun menjawab,”
Paman, daripada kami mati di Bharatayudha menghadapai paman, lebih baik sekarang kami minta mati di tangan paman”.

Salya tersenyum dan matanya berkaca-kaca, “ Anaku Nakula dan Sadewa, setiap aku melihat kalian, aku selalu teringat akan Madrim adikku yang telah wafat saat melahirkan kalian. Maka bagaimana aku tega membunuh kalian anaku? Katakan anakku, katakan, apa yang kalian inginkan, katakanlah…”

Nakula dan Sadewa tak dapat lagi menahan air matanya. Bagi mereka, Prabu Salya adalah satu-satunya keluarga yang masih tertingga. Ibu mereka madrim, wafat saat melahirkan mereka, sementara Pandu, ayah mereka meninggal beberapa saat kemudian karena kehabisan darah karena tertusuk keris Prabu Tremboko dari Pringgadani. Dan kini, haruskah mereka merelakan kematian paman mereka yang sangat sayang dan mengasihi mereka.Mereka pun saling terdiam dalam penuh keharuan.

Prabu Salya lalu berkata memecah keheningan, “ Anakku, segeralah kalian kembali. Katakan kepada Kresna, besok saat aku maju menjadi semopati perang Kurawa dalam Bharatayudha, agar Yudhistira yang menghadapi aku, dan sekarang segeralah kalian pulang”. Dengan berat hati dan sedih, Nakula dan Sadewa bersujud memeluk kaki pamannya yang sangat mereka sayangi.

Malam sebelum ia maju ke medan perang sebagai senopati perang Korawa, Salya bercengkerama dengan mesar bersama istrinya Pujawati. Malam itu pun Pujawati sudah menangkap kesan yang tidak biasa dari suaminya, namun salya tetap berusaha meyakinkan istrinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Saat pagi menjelang, Dewi Pujawati masih terlelap dalam tidurnya, Salya melihat wajah istrinya yang tetap cantik walau sudah berumur dan selalu setia mendampinginya. Sambil menyelimuti isteri yang sangat dicintainya, Prabu Salya berkata, “ Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat kecantikan wajahmu. istriku, maafkan aku, aku tidak mungkin memberiatahukan kepadamu akan kematianku”.Prabu Salya pun dengan baju perang berwarna putih, maju sebagai senopati perang Korawa ke medan Kurukhsetra.

Saat perang brathayuda Candrabirawa memakan korban banyak, Pandawa kewalahan menghadapi Prabu Salya. Saat itulah, Kresna meminta Yudhistira untuk maju menghadapi Prabu Salya. Pada awalnya Yudhistira menolak, karena ia sudah bertekad tidak akan maju ke medan perang dan tidak akan melukai siapapun. Mendengar jawaban itu, Kresna meminta Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa untuk bunuh diri saja. Maka dengan berat hati, Yudhistira pun maju berperang menghadapi Salya.

Dalam pewayangan, Prabu Salya Gugur oleh jimat Kalimosodo yang mengenai dadanya. Saat itu Resi Bagaspati masuk ke dalam tubuh Yudhistira, dan Candrabirawa dalam diri Salya diambil kembali oleh Resi Bagaspati sebagai pemiliknya. Pada saat itulah Yudhistira melempar jimat Kalimosodo yang tepat mengenai dada Prabu Salya.

Sementara di Mandaraka, Dewi Pujawati yang tidak melihat suaminya saat ia terbangun, menangis dan menyusul suaminya ke medan Kurukhsetra. sampai ketika hari sudah sore, dicarinya sang suami diantara ribuan mayat yang bergelimpangan. Betapa hancur hati Pujawati, saat ia menemukan mayat suaminya, diantara ribuan mayat itu. Saat itu juga, Dewi Pujawati menikamkan keris ke dadanya. Ia bela pati atas gugurnya sang suami tercinta. Bersama sukma Resi Bagaspati, dan Prabu Salya.

No comments:

Post a Comment

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...