Raden Antasena adalah putra Arya Wekudara yang ketiga dengan Dewi Urangayu, putri Sanghyang Baruna, dewi ikan yang berkedudukan di Kisiknarmada. Pertemuan Bima dengan Dewi Urangayu terjadi ketika Resi Druna menguji siswanya di perguruan Sokalima. Saat itu Werkudara diadu dengan duryudana, karena kalah dalam menggunakan gada, Duryudana sakit hati. Ia menyuruh Dursasana agar melenyapkan Werkudara.
Dursasana pura-pura mengadakan pesta memeriahkan pendadaran siswa Sokalima tadi. Dalam pesta itu Werkudara memeriahkan pendadaran siswa Sokalima tadi. Dalam pesta itu Werkudara diajak minum tuak. Karena terlalu banyak minum, Aryaa Sena mabuk dan jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan itulah tubuh Sena diikat lalu diceburkan ke dalam sungai Jamuna. Tubuh Bima hanyut hingga ke Kisik narmada (pertemuan sungai Jamuna dan sungai Gangga). ia ditolong oleh Batara Baruna dan disembuhkan dengan air Rasakunda. Akhirnya Arya Bima dijodohkan dengan putrinya Dewi Urangayu adik Urang Rayung yang menjadi istri Anoman dan berputera Trigangga. Perkawinan Bima dengan Dewi Urangayu inilah akhirnya Arya Sena berputera Raden Antasena, berkedudukan di Kisik Narmada ikut kakeknya.
Bersamaan lahirnya Antasena, kahyangan Suralaya sedang digempur angkatan dari Girikadasar di bawah kekuasaan raja Kalalodra. namun raja raksasa berwajah ikan itu dapat dibinasakan oleh Antasena yang saat itu masih bocah. Dengan keberhasilan menumpas musuh dewa tersebut, Resi Mintuna (kakek Antasena) diangkat menjadi dewa menguasai ikan dengan gelar Batara Baruna.
Ketika Resi Bisma menyelenggarakan perlombaan membuat sungai menuju bengawan Gangga, Kurawa dan Pandawa saling berlomba. Werkudara dibantu pasukan dari Kisik Narmada yang dipimpin oleh Antasena berhasil membuat sungai yang kemudian oleh Bisma diberi nama Sungai Serayu. Kurawa hanya mampu membuat sungai yang tembus ke kali Serayu, maka sungai itu dinamakan Kelawing atau terbalik. Nama Kelawing dalam pedalangan disebut Kali Cingcinggoling.
Ketika usai perlombaan, Kurawa yang sakit hati kembali berusaha ingin membinasakn Pandawa. Ia bersekutu dengan raja Girisamodra Prabu Gangga Trimuka. Atas bujuk Sengkuni, Gangga Trimuka akan menguasai Tribuwana jika dapat membunuh padanwa sebagai tumbalnya. Prabu Gangga Trimuka kemudian menangkap Pandawa dan dipenjara ke dalam gedung kaca bernama Kongedah, sehingga Pandawa mati lemas di dalam penjara gedung kaca tadi.
Mengetahui Pnadawa dipenjara, Antasena melabrak raja Girisamodra. Prabu Gangga Trimuka dibinasakan dengan belai upas (sungut upas Jw.) dan Pandawa dikeluarkan dari Kongedah. Melihat kondisi Pandawa mati lemas, Antasena segera menghidupkan kembali dengan air kehidupan Madusena. Atas kemufakatan Pandawa, negara Girisamodra kemudian diserahkan kepada Antasena.
Tidak berbeda dengan Antareja, kakaknya. Antasena juga memiliki sisik pada kulitnya yang berfungsi untuk menangkal senjata tajam. Keduanya juga dapat membenamkan diri ke dalam tanah dan tak akan mati jika tubuhnya masih menyinggung air ataupun tanah. Dalam pedalangan, Antasena kawin dengan Dewi Manuwati, putri Arjuna dan Dewi manuhara.
Akhir riwayat Antasena diceritakan sebagai berikut: Pada waktu perang bharatayudha hampir terjadi, Antasena menghadap Sanghyang Wenang di kahyangan Alang-alang Kumitir. ia menanyakan tentang dirinya, bagaimana sikapnya menghadapi perang bharatayudha. Sanghyang Wenang menjelaskan bahwa Antasena tidak terdaftar di dalam kitab Jitapsara, bahakan oleh Sanghyang Wenang, ia dilarang terjun ke medan tempur. Apabila Antasena terjun, Pandawa justru akan mengalami kekalahan. Antasena dianjurkan menjadi tawur keluarga demi kejayaan Pandawa, akhirnya putra Bima itupun menurut. Sanghyang Wenang lalu memandang tubuh Antasena, yang semakin lama semakin kecil lalu hilang muksa ke alam nirwana. Bentuk/Wandanya : Bujang.
Tuesday, May 26, 2020
Monday, May 25, 2020
Karna | mengenal tokoh pewayangan Adipati Karna
Karna adalah salah satu tokoh penting dalam Mahabharata. Ia adalah putra tertua Kunti, sehingga merupakan saudara seibu Pandava dan merupakan yang tertua dari keenam saudara tersebut. Walaupun Duryodhana menunjuknya sebagai raja Anga, perannya dalam kisah Mahabharata jauh melebihi peran seorang raja. Karna bertarung di pihak Kaurava dalam perang di Kurukshetra.
Semasa mudanya, Kunti merawat resi Durvasa selama satu tahun. Sang resi sangat senang dengan pengabdian yang diberikan olehnya sehingga memberikan anugerah untuk memanggil salah satu dari para dewa dan dewa yang dipilihnya tersebut akan memberiknya seorang putra yang mempunyai sifat baik menyamai dewa tersebut. Karena ragu-ragu apakah anugerah tersebut benar, Kunti, selagi masih belum menikah, memutuskan untuk mencoba mantra tersebut dan memanggil dewa matahari, Surya. Ketika Surya menampakkan diri didepannya, Kunti terpesona. Karena terikat mantra Durvasa, Surya memberinya seorang anak secemerlang dan sekuat ayahnya, walaupun Kunti sendiri tidak menginginkan anak. Dengan kesaktian Surya, Kunti tetap tidak ternodai keperawanannya. Sang bayi adalah Karna, lahir dengan baju besi dan anting-anting untuk melindunginya.
Kunti kini berada dalam posisi yang memalukan sebagai seorang ibu seorang anak tanpa ayah. Karena tidak mau menanggung malu ini, ia meletakkan Karna ke dalam keranjang dan menghanyutkannya bersama dengan perhiasannya (mirip dengan kisah Nabi Musa), berdoa agar bayi tersebut selamat.
Bayi Karna terhanyut di sungai dan ditemukan oleh seorang pengemudi kereta bernama Adhiratha, seorang Suta (campuran antara Brahmin dengan Khsatriya). Adhiratha dan istrinya Radha membesarkan Karna sebagai anak mereka dan memberinya nama Vasusena karena baju besi dan antingnya. Mereka mengetahui latar belakang Karna dari perhiasan yang ditemukan bersamanya, dan tidak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa mereka bukan orang tua Karna yang sebenarnya. Karna juga disebut Radheya karena nama ibunya Radha. Adiknya, Shon, lahir dari Adhiratha dan Radha setelah kedatangan Karna.
Ikatan antara Karna dan keluarga angkatnya merupakan hubungan berdasarkan cinta dan rasa hormat yang murni. Karna menghormati Adhiratha di depan teman-teman khsatriyanya, dan dengan penuh rasa cinta tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak dalam keluarga angkatnya meskipun ia telah menjadi raja Anga dan mengetahui asal usul kelahirannya.
Karna ingin menjadi seorang prajurit besar. Maka ia mengembara ke Hastinapura bersama dengan ayah dan adik angkatnya. Di sana menguasai ilmu kanuragan dengan belajar kepada Drona, walaupun ia belajar tidak bersama dengan para pangeran (Pandava dan Kaurava) karena dipandang berasal dari kasta yang rendah. Karna menguasai semua ilmu yang diajarkan, terutama ilmu memanah. Ketika Pandava diusir ke hutan selama 14 tahun, Duryodhana meminta Karna untuk menguasai Brahmastra, salah satu senjata terkuat yang ada. Hanya beberapa orang yang mengetahui hal ini termasuk Drona, Arjuna, Bhisma dan Ashwathama (anak Drona). Ia pertama-tama mendekati Drona, guru Pandava dan Kaurava, tetapi Drona menolak untuk mengajarinya karena kastanya yang rendah. Ia kemudian meminta Parashurama, guru besar yang lain, untuk mengajarinya seni berperang terutama untuk mnguasai Bhramashtra. Parashurama tidak akan mengajari seorang khsatriya karena rasa bencinya pada kaum khsatriya yang telah membunuh orang tuanya. Maka untuk mendapatkan ilmu, Karna berbohong tentang asal usulnya dan mengaku sebagai seorang Brahmin.
Semasa mudanya, Kunti merawat resi Durvasa selama satu tahun. Sang resi sangat senang dengan pengabdian yang diberikan olehnya sehingga memberikan anugerah untuk memanggil salah satu dari para dewa dan dewa yang dipilihnya tersebut akan memberiknya seorang putra yang mempunyai sifat baik menyamai dewa tersebut. Karena ragu-ragu apakah anugerah tersebut benar, Kunti, selagi masih belum menikah, memutuskan untuk mencoba mantra tersebut dan memanggil dewa matahari, Surya. Ketika Surya menampakkan diri didepannya, Kunti terpesona. Karena terikat mantra Durvasa, Surya memberinya seorang anak secemerlang dan sekuat ayahnya, walaupun Kunti sendiri tidak menginginkan anak. Dengan kesaktian Surya, Kunti tetap tidak ternodai keperawanannya. Sang bayi adalah Karna, lahir dengan baju besi dan anting-anting untuk melindunginya.
Kunti kini berada dalam posisi yang memalukan sebagai seorang ibu seorang anak tanpa ayah. Karena tidak mau menanggung malu ini, ia meletakkan Karna ke dalam keranjang dan menghanyutkannya bersama dengan perhiasannya (mirip dengan kisah Nabi Musa), berdoa agar bayi tersebut selamat.
Bayi Karna terhanyut di sungai dan ditemukan oleh seorang pengemudi kereta bernama Adhiratha, seorang Suta (campuran antara Brahmin dengan Khsatriya). Adhiratha dan istrinya Radha membesarkan Karna sebagai anak mereka dan memberinya nama Vasusena karena baju besi dan antingnya. Mereka mengetahui latar belakang Karna dari perhiasan yang ditemukan bersamanya, dan tidak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa mereka bukan orang tua Karna yang sebenarnya. Karna juga disebut Radheya karena nama ibunya Radha. Adiknya, Shon, lahir dari Adhiratha dan Radha setelah kedatangan Karna.
Ikatan antara Karna dan keluarga angkatnya merupakan hubungan berdasarkan cinta dan rasa hormat yang murni. Karna menghormati Adhiratha di depan teman-teman khsatriyanya, dan dengan penuh rasa cinta tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak dalam keluarga angkatnya meskipun ia telah menjadi raja Anga dan mengetahui asal usul kelahirannya.
Karna ingin menjadi seorang prajurit besar. Maka ia mengembara ke Hastinapura bersama dengan ayah dan adik angkatnya. Di sana menguasai ilmu kanuragan dengan belajar kepada Drona, walaupun ia belajar tidak bersama dengan para pangeran (Pandava dan Kaurava) karena dipandang berasal dari kasta yang rendah. Karna menguasai semua ilmu yang diajarkan, terutama ilmu memanah. Ketika Pandava diusir ke hutan selama 14 tahun, Duryodhana meminta Karna untuk menguasai Brahmastra, salah satu senjata terkuat yang ada. Hanya beberapa orang yang mengetahui hal ini termasuk Drona, Arjuna, Bhisma dan Ashwathama (anak Drona). Ia pertama-tama mendekati Drona, guru Pandava dan Kaurava, tetapi Drona menolak untuk mengajarinya karena kastanya yang rendah. Ia kemudian meminta Parashurama, guru besar yang lain, untuk mengajarinya seni berperang terutama untuk mnguasai Bhramashtra. Parashurama tidak akan mengajari seorang khsatriya karena rasa bencinya pada kaum khsatriya yang telah membunuh orang tuanya. Maka untuk mendapatkan ilmu, Karna berbohong tentang asal usulnya dan mengaku sebagai seorang Brahmin.
Sunday, May 24, 2020
cerita tentang gatotkaca-miniatur wayang gatotkaca
Raden Gatotkaca adalah putera Raden Wrekudara, Pandawa yang kedua. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".
Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi . Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Download Google Drive Gambar Gatot Kaca
Kisah kelahiran Gatotkaca
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun.
Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi . Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.
Gambar Gatot kaca untuk membuat miniatur wayang ukuran kertas A4 |
Download Google Drive Gambar Gatot Kaca
Kisah kelahiran Gatotkaca
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun.
Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.
Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.
Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.
Sunday, May 17, 2020
Membuat Miniatur Wayang Arjuna
Arjuna sangat dikenal dengan ketampanan dan kelembutannya hatinya. Sehingga banyak pengisah pewayangan (dalang) menggambarkan gaya bicara tokoh ini sangat halus. Ia juga merupakan seorang satria yang suka menolong dan hobi pertapa.
Arjuna adalah putra dari pasangan Prabu Pandudewata dan Dewi Kunti yang merupakan titisan dari Batara Indra. Karena ketampanannya, Arjuna memiliki banyak istri yaitu: Sembrada, Srikandi, Larasati, Dresanala, hingga Dewi Supraba dari kahyangan pun ia
peristri. Ia juga mempunyai anak-anak yang tampan, berjiwa ksatria, berbudi luhur.
Senjata andalan yang dimilki Arjuna adalah Keris Pulanggeni, panah Pasopati, panah Sarotama dan keris Kalanadah. Selaian itu Arjuna juga memiliki ajian atau kesaktian yaitu Malayabumi atau menghilang melihat alam jin. Ia Arjuna juga memiliki ajian sepi/saefi angin di mana ia dapat berlari secepat angin (teleportasi).
Arjuna: Kisah, Biografi, Keluarga, Istri, dan Kesaktiannya
Arjuna pernah menjadi jagonya sewaktu membunuh raja raksasa yang sakti, Prabu Niwatakawaca. Ia membunuhnya dengan panah Pasopati yang ia dapat saat bertapa di Gunung Indrakila dari Dewa Brahma. Saat itu, Dewa Brahma menganugerahkan Dewi Dresnala dan panah tersebut. Selain itu, Dewa juga memberi anugerah Batari Supraba dan menjadi raja di Kaindran.
Dalam perang Baratayuda musuh Arjuna adalah Basukarna yang sebenarnya merupakan kakaknya sendiri. Sebenarnya ia tak mau melawan saudara sulungnya tersebut. Namun dengan ajaran keutamaan ksatria dari Kresna, Arjuna melawan dan membunuhnya dengan panah Pasopati.
Arjuna pada jaman Barata mempunyai predikat Lananging Jagat karena diakui sebagai ksatria tiada duanya. Namun beberapa dalang menafsirkan itu karena ia beristri banyak. Lananging jagat itu mengandung arti: pahlawan ulung yang benar-benar ksatria serta menguasai hal ikhwal seluk beluk kehidupan di Madyapada.
peristri. Ia juga mempunyai anak-anak yang tampan, berjiwa ksatria, berbudi luhur.
Senjata andalan yang dimilki Arjuna adalah Keris Pulanggeni, panah Pasopati, panah Sarotama dan keris Kalanadah. Selaian itu Arjuna juga memiliki ajian atau kesaktian yaitu Malayabumi atau menghilang melihat alam jin. Ia Arjuna juga memiliki ajian sepi/saefi angin di mana ia dapat berlari secepat angin (teleportasi).
Arjuna: Kisah, Biografi, Keluarga, Istri, dan Kesaktiannya
Arjuna pernah menjadi jagonya sewaktu membunuh raja raksasa yang sakti, Prabu Niwatakawaca. Ia membunuhnya dengan panah Pasopati yang ia dapat saat bertapa di Gunung Indrakila dari Dewa Brahma. Saat itu, Dewa Brahma menganugerahkan Dewi Dresnala dan panah tersebut. Selain itu, Dewa juga memberi anugerah Batari Supraba dan menjadi raja di Kaindran.
Dalam perang Baratayuda musuh Arjuna adalah Basukarna yang sebenarnya merupakan kakaknya sendiri. Sebenarnya ia tak mau melawan saudara sulungnya tersebut. Namun dengan ajaran keutamaan ksatria dari Kresna, Arjuna melawan dan membunuhnya dengan panah Pasopati.
Arjuna pada jaman Barata mempunyai predikat Lananging Jagat karena diakui sebagai ksatria tiada duanya. Namun beberapa dalang menafsirkan itu karena ia beristri banyak. Lananging jagat itu mengandung arti: pahlawan ulung yang benar-benar ksatria serta menguasai hal ikhwal seluk beluk kehidupan di Madyapada.
Miniatur wayang kulit Gareng dari kertas - Nala Gareng
Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
Dalam wayang golek (wayang versi Sunda), tokoh Gareng adalah anak terakhir dari Semar. Sama seperti tokoh Astrajingga dan Dawala, tokoh ini biasanya dikeluarkan sebagai hiburan untuk penonton.
Gareng dengan tanda kurung (bungsu) ini dipakai untuk membedakannya dengan Gareng pada wayang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gareng pada wayang Jawa Tengah dan Jawa Timur ini adalah anak pertama dari Semar.
Riwayat Gareng
Gareng biasanya disebut sebagai anaknya Semar, dan masuk dalam golongan punakawan. Aslinya, Gareng bernama Bambang Sukskati, putra Resi Sukskadi dari padepokan Bluluktiba. Bertahun-tahun Bambang Sukskati bertapa di bukit Candala untuk mendapatkan kesaktian. Setelah selesai tapanya, ia kemudian minta ijin pada ayahnya untuk pergi menaklukan raja-raja.
Di tengah perjalanan Bambang Sukskati bertemu dengan Bambang Panyukilan, putra Bagawan Salantara dari padepokan Kembangsore. Karena sama-sama congkaknya dan sama-sama mempertahankan pendiriannya, terjadilah peperangan antara keduanya. Mereka mempunyai kesaktian yang seimbang, sehingga tiada yang kalah dan menang. Mereka juga tak mau berhenti berkelahi walau tubuh mereka telah saling cacad tak karuan. Perkelahian baru berakhir setelah dilerai oleh Semar/Sanghyang Ismaya. Karena sabda Sanghyang Ismaya, berubahlah wujud keduanya menjadi sangat jelek. Tubuh Bambang Sukskati menjadi cacad. Matanya juling, hidung bulat bundar, tak berleher, perut gendut, kaki pincang, tangannya bengkok/tekle/ceko (Jawa). Oleh Sanghyang Ismaya namanya diganti menjadi Nala Gareng, sedangkan Bambang Panyukilan menjadi Petruk.
Nala Gareng menikah dengan Dewi Sariwati, putri Prabu Sarawasesa dengan permaisuri Dewi Saradewati dari negara Salarengka, yang diperolehnya atas bantuan Resi Tritusta dari negara Purwaduksina. Nala Gareng berumur sangat panjang, ia hidup sampai jaman Madya.
Gareng dan Makna Filosofisnya
Gareng ialah anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diambil anak angkat pertama oleh Semar. Nama lain gareng adalah : Pancalpamor ( artinya menolak godaan duniawi ) Pegatwaja ( artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit. Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik).
Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. ciri fisik Gareng :
1. Mata juling :
artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan/ tidak baik.
2. Tangan ceko (melengkung) :
artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
3. Sikil gejik (seperti pincang)
artinya selalu penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.
Gareng senang bercanda, setia kepada tuannya, dan gemar menolong. Dalam pengembaraannya pernah menjadi raja bernama Prabu Pandu Bergola di kerajaan Parang Gumiwang. Ia sakti mandraguna, semua raja ditaklukkannya. Tetapi ia ingin mencoba kerajaan Amarta ( tempat ia mengabdi ketika menjadi punakawan).Semua satria pandawapun dikalahkannya. Sementara itu Semar, Petruk dan Bagong sangat kebingungan karena kepergian Gareng.
Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Kresna, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.
Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.
Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.
Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
1. Jangan menilai seseorang dari wujud fisiknya. Budi itu terletak di hati, watak tidak tampak pada wujud fisik tetapi pada tingkah dan perilaku. Belum tentu fisiknya cacat hatinya jahat.
2. Manusia wajib saling mengingatkan.
3. Jangan suka merampas hak orang lain.
4. Cintailah saudaramu dengan setulus hati.
5. Kalau bertindah harus dengan penuh perhitungan dan hati-hati.
Saturday, May 16, 2020
miniatur wayang semar dan asal usul semar
SEMAR
Dalam cerita pewayangan, ternyata tokoh Semar ini mendapatkan posisi terhormat dalam karakternya. Ia adalah seorang penasihat sekaligus pengasuh para ksatria. Selain itu, karakter Semar ini merupakan tokoh dengan karakter yang sederhana, jujur, tulus, berpengetahuan, cerdas, cerdik, juga memiliki mata batin yang begitu tajam.
Semar adalah pimpinan empat sekawan ‘Punakawan’. Sepintas memang tokoh Semar sebatas melucu dan pereda ketegangan penonton di tengah malam. Namun, menurut Sobirin bahwa dulu Sang Hyang Wenang menciptakan Hantigo berupa telur. Cangkangnya itu Togog, sedang putihnya menjadi Semar. Sedangkan kuningnya menjadi Batara Guru.
Semar yang memiliki badan gemuk tak jelas laki-laki atau perempuan. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan masing-masing memiliki ciri khas. Kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Umumnya, masyarakat mengenal bahwa Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa yang mana memiliki anugerah Mustika Manik Astagina dan delapan daya. Delapan daya itu adalah tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah kepanasan, dan tak tak pernah kedinginan.
Sejarah Eyang Semar
Menurut pendapat seorang sejarawan, Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar ini pertama kali ditemukan di dalam karya sastra pada zaman kerajaan Majapahit yang berjudul Sudamala. Karya sastra tersebut dalam bentuk kakawin juga dipahat dalam bentuk relief di Candi Sukuh yang dibuat tahun 1439.
Tokoh Semar ini merupakan hamba atau abdi tokoh utama dalam kisah Sahadewa yang merupakan sosok dari keluarga Pandawa. Tentunya, Semar bukan hanya sebagai pengikut semata, melainkan juga sebagai penghibur lara dalam mencairkan suasana yang tegang.
Di zaman berikutnya, saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun mulai digunakan sebagai media dakwah. Salah satunya adalah kisah Mahabarata yang mana kisah tersebut sudah melekat di benak masyarakat Jawa. Salah satu Ulama yang menggunakan wayang sebagai media dakhwa adalah Sunan Kalijaga. Di dalam dakwahnya, Semar masih tetap ada, bahkan lebih dominan dibandingkan dengan kisah Sudamala.
Kemudian, di era selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat, di mana para Pujangga Jawa mulai mengkisahkan Semar bukan sebagai rakyat jelata saja, melainkan juga sebagai jelmaan Batara Ismaya yang merupakan kakanya Batara Guru alias rajanya para dewa.
Banyak sekali versi yang menkisahkan asal usul Semar. Namun sebagian besar mengatakan bahwa Semar adalah jelmaan Dewa.
Seperti yang ditulis dalam naskah Serat Kanda yang mengkisahkan penguasa kahyangan adlah Sang Hyang Nurrasa dan memiliki dua putra yang bernama Sanghyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, maka tahta kahyangan pun diturunkan ke Sang Hyang Wenang. Kemudian, tahta diwariskan lagi ke putranya yang bernama Batara Guru, hingga Sang Hyang Tunggal pun menjadi pengasuh para ksatria turunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Tokoh yang selalu muncul di setiap kisah pewayangan, apapun judulnya dan apapun kondisinya. Dia selalu ada. Di kalangan masyarakat Jawa, ternyata tokoh wayang Semar bukan hanya sebagai fakta historis saja, melainkan lebih ke simbolis dan mitologis tentang ke-Esa-an. Di mana merupakan simbol dari pengejawantahan ekspresi, pengertian, dan persepsi tentang ke-Tuhan-an dan lebih ke konsep spiritual.
Bisa dikatakan bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah merupakan masyarakat yang religius dan ke-Tuhan-an yang Maha Esa.
Filosofi Kata Bijak Ki Semar
Di setiap pementasan wayang, Semar selalu menyampaikan kata-kata bijaknya yang sifatnya lebi hke umum. Sehingga kata-kata bijak Semar masih relevan dengan siapapun dan kapanpun. Berikut ini adalah beberapa kata bijak Semar.
Urip iku Urup
Yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah Hidup itu Menghidupi. Hidup itu harus bisa memberikan manfaat pada semua orang di sekitar kita. Di sinilah kenapa hidup itu menghidupi. Agar hidup kita lebih bermakna, maka kita harus bermanfaat bagi setiap orang di sekitar kita.
Sura Dira Jaya Jayaningrat, Leburing Dening Pangastuti Jika di-Indonesiakan, maka artinya semua sifat picik, keras hati, dan angkara murka di dalam diri kita hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijaksana, sabar, dan lembut hati. Ibarat api tidak bisa dipadamkan dengan api. Perlu air untuk memadamkannya. Begitu juga dengan sifat jelek kita, harus kita redam dengan sifat baik kita, yaitu dengan kebijaksanaan, rendah hati, dan sabar.
Datan Sering Lamun Ketaman, Datang Susah Lamun Kelangan
Kata bijak Semar yang satu ini memiliki makna, bahwa jangan bersedih saat mengalami musibah yang menimpa kita, juga jangan sedih jika kita sedang kehilangan sesuatu. Karena semua akan kembali kepada-Nya. Inilah hakikat hidup.
Itulah beberapa kata bijak dari Semar yang sering dilontarkan saat pementasan wayang di malam hari. Biasanya saat penutupan, kata-kata itu terlontar sebagai makna kehidupan dan acuan kita menjalani hidup yang haqiqi.
Kesaktian Semar: Senjata Kentut
Kesaktian Semar Mesem Menurut Islam Yang SebenarnyaMeskipun Semar hanya rakyat biasa dan menjadi Punakawan para ksatria dan raja, tapi Semar memiliki kesaktian yang melebihi kemampuan Batara Guru, rajanya para dewa. Di mana Semar selalu bisa mengatasi kesaktian Batara Guru yang selalu mengganggu Pandawa Lima saat dalam asuhan Semar.
Ada lagi senjata yang paling ampuh yang dimiliki Semar, yaitu ‘kentut’. Kentut berasal dari dalam diri Semar itu sendiri, sehingga senjata ini bersifat dari pribadi Semar dan bukan alat yang dibuat oleh manusia. Senjata ini pun bukan untuk membunuh, melainkan untuk menyadarkan.
Dalam satu kisahnya, Semar menggunakan senjata ‘kentut’ saat melawan resi yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima. Di mana ujungnya tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, melainkan semuanya sadar kembali dalam perwujudan semula. Semar sendiri menggunakan senjata ‘kentut’ ini ketika ia sudah tidak bisa mengatasi masalah dengan senjata lain.
Kesaktian Semar Mesem Asli Menurut Islam
Semar mesem diketahui sebagai Ilmu ghaib yang digunakan untuk memikat seseorang baik peria ataupun wanita agar bisa tertarik kepada pengguna semar mesem tersebut. Dengan menggunakan Semar Mesem Asli dipercaya mampu memikat wanita yang seketika akan jatuh cinta dan tertarik kepadanya. Oleh karena itu Semar Mesem sangat populer di Indonesia terutama di Pulau Jawa, bahkan sekarang ini kepopulerannya juga sampai di wilayah wilayah lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra.
Banyak Versi berbeda tentang bagaimana menggunakan semar mesem untuk memikat seseorang. Ada yang menggunakan mantra ajian bacaan Doa jawa, Ritual seperti puasa hingga perantara Aji aji benda pusaka seperti keris dan sebagainya yang diperjual belikan secara Online dengan harga Mahal dan ada juga yang Murah. Lalu bagaimana teknik memikat seseorang menggunakan semar mesem menurut Islam? Islam mengajarkan agar seseorang hanya meminta kepada Allah Subhanallahu wata’ala, seperti yang sering kali kita baca pada surah Al-Fatihah ayat 5 :
Artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Jadi seandainya anda tertarik dan jatuh cinta pada seseorang, alangkah lebih baik untuk langsung berdoa kepada AllahSubhanallahu wata’ala. Jika anda tidak bisa berdoa menggunakan bahasa arab maka berdoalah menggunakan bahasa Indonesia dengan Tenang dan Khyusu, seperti :
“Ya Allah yang maha berkehendak, berikanlah hambamu ini Istri yang Sholehah”
Yang pasti jangan Melakukan Nazar, yang mana seperti “Jika dia bisa jadi istriku maka aku akan berbuat baik seperti berpuasa, sedekah dll”. Hal tersebut merupakan sifat bakhil yang mana hanya mau melakukan kebaikan dengan syarat tertentu padahal amalan yang dilakukan juga untuk dirinya sendiri, maka alangkah lebih baiknya jika melakukan kebaikan tersebut kemudia baru meminta dan berdoa kepada Allah Subhanallahu wata’ala.
Sifat Perwatakan Tokoh Semar
Kalau dalam istilah Jawa-nya, Semar ini sifatnya ‘Nyegara’ yang artinya hatinya seluas samudera. Di mana ia dipercaya kapraman dan kewaskitaan-nya sedalam samudera. Tak heran, jika hanya ksatria sejati saja yang bisa menjadi asuhan Semar.
Jika dilihat dari karakter fisiknya, Semar memiliki karakter fisik yang cukup unik. Tapi, keunikan fisik inilah yang dijadikan simbol dari kehidupan ini oleh masyarakat Jawa.
Semar memiliki bentuk tubuh bulat yang mana mengibaratkan bahwa bumi ini bulat. Raut wajah yang selalu tersenyum juga mata yang sembab mengeluarkan air mata ini merupakan simbol antara suka dan duka yang selalu ada dalam kehidupan kita.
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut sebagai Badranaya yang merupakan dua istilah di antaranya Bebadra yang artinya membangun sarana dari awal, dan Naya yang artinya Utusan mangrasul. Jika diartikan secara sederhana, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia di muka bumi.
Semar sendiri juga memiliki istilah lain yaitu Haseming samar-samar yang artinya makna kehidupan Sang Penuntun. Semar bukan laki-laki, bukan juga perempuan. Tangan kanannya ke atas yang bermakna sang Maha Tunggal, dan tangan kirinya ke belakang yang bermakna berserah pada-Nya.
Thursday, May 14, 2020
tokoh pewayangan punakawan ciptaan sunan kalijaga mengandung makna dan filosofi tingkat tinggi
Dahulunya Sunan Kalijogo menciptakan wayang sebagai sarana dakwah. Salah satu karakter pewayangan yang ada adalah Punakawan. Nama Punakawan berasal dari kata “Puna” yang berarti Susah dan “Kawan” yang berarti teman, yang bisa dimaknai sebagai teman di kala susah. Selain itu, ada juga yang menafsirkan Punakawan berasal dari kata “Pana” yang berarti terang dan”Kawan” yang berarti teman, yang apabila diterjemahkan menjadi teman untuk menuju jalan yang terang.
Punakawan terdiri dari empat tokoh, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sunan Kalijogo membuat empat karakter ini untuk menggambarkan sifat kebanyakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Nah, kira-kira pesan apa saja yang ditinggalkan Sunan Kalijogo lewat karakter Punakawan ini? Berikut kami ulas pesan-pesan Sunan Kalijogo lewat karakter Punakawan yang tentunya wajib kamu ketahui.
punakawan berasal dari kata pana yang artinya paham, dan kawan yang artinya teman. Jika mencari tokoh Punakawan di naskah Mahabharata dan Ramayana, jangan heran jika tokoh Punakawan tidak ada di sana. Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa. Menurut Slamet Muljana, seorang sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
Empat tokoh punakawan terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Para Punakawan ditampilkan sebagai kelompok penceria dengan humor-humor khasnya untuk mencairkan suasana. Selain itu, Punakawan juga memiliki karakter masing-masing yang tentunya patut untuk diselami lebih dalam.
Semar
Salah satu tokoh yang selalu ada di Punakawan ini, dikisahkan sebagai abdi tokoh utama cerita Sahadewa dari keluarga Pandawa. Bukan hanya sebagai abdi, namun Semar juga kerap kali memberikan nasihat-nasihat bijaksananya untuk keluarga Pandawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan bijaksana. Kepala dan pandangan Semar menghadap ke atas, menggambarkan kehidupan manusia agar selalu mengingat Sang Kuasa. Kain yang dipakai sebagai baju oleh Semar, yakni kain Semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Di kalangan spiritual Jawa, Semar dianggap sebagai symbol ke-Esaan.
Gareng
Dalam cerita pewayangan Jawa, diceritakan Nala Gareng adalah anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diangkat anak oleh Semar. Pancalparnor adalah nama lain Gareng yang artinya menolak godaan duniawi. Gareng memiliki kaki pincang, hal ini mengajarkan agar selalu barhati-hati dalam bertindak. Dalam suatu cerita, Gareng dulunya adalah seorang raja, namun karena ia sombong, ia menantang setiap ksatria yang ia temui dan dalam suatu pertarungan, mereka seimbang.
Tidak ada yang menang maupun kalah, namun dari pertarungan itu. Wajah Gareng yang awalnya rupawan menjadi buruk rupa. Gareng memiliki perawakan yang pendek dan selalu menunduk, hal ini menandakan kehati-hatian, meskipun sudah makmur, tetapi harus tetap waspada. Matanya juling yang menandakan ia tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangannya melengkung, hal ini menggambarkan untuk tidak merampas hak orang lain.
Petruk
Petruk digambarkan sebagai sosok yang gemar bercanda, baik melalui ucapan ataupun tingkah laku. Ia adalah anak ke dua yang diangkat oleh Semar. Nama lainnya yakni Kanthong Bolong, yang artinya suka berdema. Sebagai punakawan, ia adalah sosok yang bisa mengasuh, merahasiakan masalah, pendengar yang baik, dan selalu membawa manfaat bagi orang lain.
Dalam suatu cerita, saat pembangunan candi Sapta Arga, kerajaan ditinggalkan dalam keadaan kosong. Kemudian jimat Kalimasada milik pandawa pun hilang. Jimat itu dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu, Bambang Irawan – anak Arjuna – bersama Petruk berusaha merebut jimat tersebut. Akhirnya jimat itu berhasil direbut oleh Bambang Irawan dan dititipkan kepada Petruk. Namun sayangnya Petruk menghilangkan jimat tersebut. Untungnya jimat itu dapat ditemukan kembali, kemudian ia meminta maaf pada Pandawa. Melalui kisah itu, Petruk ingin mengingatkan untuk memperhitungkan setiap tata kelakuan dan tidak mudah percaya kepada siapapun. Kemudian ia juga mengajarkan untuk berani mengakui kesalahan.
Bagong
Bagong adalah anak ke tiga yang diangkat oleh Semar. Diceritakan, Bagong adalah manusia yang muncul dari bayangan. Suatu ketika, Gareng dan Petruk minta dicarika teman oleh Semar, kemudian Sang Hyang Tunggal berkata “Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri” seketika, sosok Bagong muncul dari bayangan.
Sosok Bagong digambarkan berbadan pendek, gemuk, tetapi mata dan mulutnya lebar, yang menggambarkan sifatnya yang lancang namun jujur dan sakti. Ia kerap kali melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Dari sikap Baagong yang tergesa-gesa itu, justru mengajarkan untuk selalu memperhitungkan apa yang hendak dilakukan, agar tidak seperti Bagong. Tokoh pewayangan satu ini juga mengingatkan bahwa manusia di dunia memiliki berbagai watak dan perilaku. Tidak semuanya baik, sehingga setiap orang harus bisa memahami watak orang lain, toleran, dan bermasyarakat dengan baik.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Baca Juga
Jagal Abilawa
Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...
-
DURYUDANA Duryodana utawa Duryudana iku ratu ing Ngastina (Hastina) Ing layang Mahabharata karan Droyudhana. Dasanamane miturut padh...
-
Buta Terong merupakan nama penokohan wayang yang tidak asing di dalam telinga orang Jawa. Buta Terong merupakan salah satu dari sekelompok ...
-
Di Riwayatkan Dalam pewayangan Jawa, Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pengalasan, Partasuta, Kirityatmaja,...