Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, seorang swarawati keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Sebenarnya Baladewa memihak Kurawa, maka dalam Kitab Jitabsara ketika ditulis skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Prabu Kresna tahu bahwa para dewa merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden Anantareja dan Baladewa mati. Ketika melihat catatan itu Prabu Kresna ingin menyelamatkan Prabu Baladewa dan Raden Anantareja agar tak ikut perang sebab kedua orang itu dianggap Prabu Kresna tak punya urusan dalam perang Baratayuda. Prabu Kresna menyamar menjadi kumbang lalu terbang dan menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis, tinta tumpah dan menutupi kertas yang ada tulisan Anantarejo kemudian kumbang jelmaan Prabu Kresna juga menyambar pena yang dipakai tuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya dalam Kitab Jitabsara yaitu kitab skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa tak ada tulisan Raden Anantareja dan Prabu Baladewa. Maka sebelum perang Baratayuda Prabu Kresna membujuk Anantareja supaya bunuh diri dengan cara menjilat telapak kakinya sendiri, akhirnya Raden Anantareja mati sebagai tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Prabu Kresna juga punya siasat untuk mengasingkan agar Prabu Baladewa tidak mendengar dan menyaksikan Perang Baratayuda yaitu dengan meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Baratayuda, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Baratayuda.
Ada yang mengatakan Baladewa sebagai titisan naga sementara yang lainnya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Baratayuda, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Sebenarnya Baladewa memihak Kurawa, maka dalam Kitab Jitabsara ketika ditulis skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Prabu Kresna tahu bahwa para dewa merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden Anantareja dan Baladewa mati. Ketika melihat catatan itu Prabu Kresna ingin menyelamatkan Prabu Baladewa dan Raden Anantareja agar tak ikut perang sebab kedua orang itu dianggap Prabu Kresna tak punya urusan dalam perang Baratayuda. Prabu Kresna menyamar menjadi kumbang lalu terbang dan menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis, tinta tumpah dan menutupi kertas yang ada tulisan Anantarejo kemudian kumbang jelmaan Prabu Kresna juga menyambar pena yang dipakai tuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya dalam Kitab Jitabsara yaitu kitab skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa tak ada tulisan Raden Anantareja dan Prabu Baladewa. Maka sebelum perang Baratayuda Prabu Kresna membujuk Anantareja supaya bunuh diri dengan cara menjilat telapak kakinya sendiri, akhirnya Raden Anantareja mati sebagai tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Prabu Kresna juga punya siasat untuk mengasingkan agar Prabu Baladewa tidak mendengar dan menyaksikan Perang Baratayuda yaitu dengan meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Baratayuda, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Baratayuda.
Ada yang mengatakan Baladewa sebagai titisan naga sementara yang lainnya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Baratayuda, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.