Thursday, August 13, 2020

Srenggini teryata adalah putra bima

Srenggini adalah anak keempat raden Werkudara dengan ibu Rekatawati yang berwujud Kepiting putri dari Dewa Rekatatama. Pada suatu waktu ketika Raden Bratasena berpisah dengan Dewi Urang Ayu, ibu Antasena, Raden Werkudara mengeluarkan kama atau mani yang ia kibaskan ke pasir dipinggir pantai. Dan ketika itu Dewi Rekatawati mencari makan, tanpa disengaja meminum kama Bratasena yang jatuh karena tidak bisa bersenggama dengan Dewi Urang Ayu.

Kelak kejadian ini akan melahirkan 2 ksatria yang tangguh yaitu Raden Antasena dan Raden Srenggini. Raden Antasena Putra raden Bratasena atau Bima dengan dewi Urang Ayu. Sedangkan Raden Srenggini anak Bratasena dengan Dewi Rekatawati. Antasena berjalan tidak seperti layaknya manusia lain, dia berjalan dengan tangan selalu di belakang tubuh. Hal ini karena tangan Antasena sangat berat karena di tangannnya bersemayam ari – ari dan air ketubannya disebut kadang papat kalima pancer.

Karena itu pula dalam versi Banyumas Antasena kalau berperang tidak pernah menyentuh musuhnya, tetapi hanya menggerakkan tangannya saja dan musuhnya bergerak mengikuti gerakan tangan Antasena seperti kaprabawan atau di sengat setrum. Selain itu Antasena mempunyai upas atau racun.

Sedangkan Srenggini berjalan miring layaknya Kepiting atau wayang Srenggini mirip Antasena wajahnya tetapi tidak bergelung winangkara dan mempunyai Capit di kepalanya. Dia memiliki kekuatan yang namanya aji Thothoksewu.

Tuesday, August 11, 2020

Properti photo wedding bagian ke 2

Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dalam momen pernikahan. Tidak hanya gaun pernikahannya saja, tetapi ada hal-hal lain seperti gedung, catering, dekorasi. Satu hal yang kini menjadi tren anak sekarang adalah menyediakan photobooth atau tempat foto untuk tamu undangan.

Demi memeriahkan suasana, para pengantin akan mengundang banyak tamu baik teman maupun sahabat dan pastinya keluarga untuk datang. Tak hanya itu penyanyi pernikahan juga turut dihadirkan untuk memeriahkan suasana pada saat sesi foto dan bersalaman.

Di kesempatan ini jangan sampai melewatkan momen manis dan indah untuk mengabadikan orang-orang yang datang dalam sebuah foto maupun video di photobooth. Biasanya butuh banyak inspirasi photobooth yang menarik dan berkesan untuk pilihan dekorasi saat pernikahan kamu.


















Bilung dan Togog

BERBICARA tentang punakawan dalam dunia pewayangan, yang selalu ada dalam benak kita hanyalah “Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.” Sedikit dari masyarakat Indonesia -- kecuali orang Jawa Tulen – yang mengenal dua tokoh punakawan bernama Togog dan Mbilung. Berbeda dengan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebagai pendamping para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat baik atau berakhlak mulia, sedangkan Togog dan Mbilung bertugas mendampingi para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat angkara murka atau berakhlak tercela.

Bagi yang sudah tahu Togog dan Mbilung akan mengkategorikan kedua tokoh itu sebagai punakawan oportunitis. Karena, keduanya tidak pernah setia pada satu raja saja. Sebenarnya, mereka mengabdi bukan karena oportunitis, melainkan tugas mereka selesai dengan kalahnya raja mereka di tangan tokoh protagonis dalam sebuah lakon.

Sebenarnya, tugas Togog dan Mbilung sama seperti Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing raja mereka. Namun, tugas Togog dan Mbilung lebih sukar, pasalnya mereka harus meluruskan bibit-bibit keangkaramurkaan yang telah nampak pada raja mereka. Saat sang raja sudah tidak menggubris mereka, sampai situlah tugas mereka

Kedua tokoh tersebut memiliki keunikan dalam dunia pewayangan Jawa. Togog dan bilung berbicara dengan dua bahasa yang berbeda. Togog berbahasa Jawa sedangkan bilung berbahasa melayu. Uniknya, meski berbeda bahasa, keduanya saling mengerti satu dengan yang lainnya saat berbicara. Dalam dunia pewayangan, Togog selalu digambarkan dengan sosok berbibir dower sedangkan bilung selalu menggunakan pakaian yang memiliki ciri khas pakaian melayu.

Meskipun Togog dan Mbilung memiliki tugas yang sama dengan Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing rajanya ke jalan yang lurus, Togog dan Mbilung lebih terjun pada raja yang sudah dzalim. Tugas mereka berdua jauh lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya. Tugas Togog dan Mbilung seperti meluruskan benang basah atau mencari jarum di dalam tumpukkan jerami.

Bila dibandingkan dengan Semar dan anak-anaknya, Togog dan Mbilung jauh lebih kritis, cenderung “pedas” mengritisi atasan mereka. Hanya saja, kritiknya tersebut kurang diperhatikan oleh sang raja. Banyak alasannya, namun mungkin saja apa yang dibicarakan Togog dan Mbilung tidak dipahami oleh sang raja. Maklum saja, dengan bibir yang dower, bahasa yang keluar dari mulut Togog kurang didengar dengan jelas dan bahasa melayu yang digunakan oleh Mbilung maka pesan yang disampaikan tidak dipahami oleh sang raja, karena sang raja tidak begitu mengerti bahasa melayu.

Togog dan Mbilung memang digambarkan selalu mengikuti raja yang berwatak jahat, namun bukan berarti mengabdi kepada kejahatan. Sanggit watak tersebut dapat diartikan bahwa keduanya selalu berkaitan dengan upaya memberantas kejahatan. Artinya, di mana ada keangkaramurkaan, di situ harus ada sosok Togog dan Mbilung. Bukankah itu sama dengan fungsi polisi? Di mana ada kejahatan, di situ harus ada polisi. Sekecil apapun bentuk kejahatan itu. Mungkin nama ‘Bayangkara’ hanya kebetulan, namun kenyataan menunjukkan bahwa tugas-tugas polisi selalu berdekatan dengan bebaya lan angkara atau bahaya, kejahatan dan keangkaramurkaan. Sama dengan tugas yang harus diemban oleh Togog dan Mbilung. Dan nasib Polisi – dalam banyak hal -- ‘sama’ dengan Togog dan Mbilung. Sering bertarung dengan ‘hati nurani sendiri’, karena harus berpihak pada para pemangku kepentingan yang lebih dominan. Memang berat, tetapi harus dilakukan demi tugasnya sebagai ‘pendamping’ para Raja atau Ksatria yang kadang-kadang lupa akan amanahnya sebagai Pemimpin.

Saturday, August 8, 2020

Mengenal tokoh wayang Dursasana

Dursasana atau Duhsasana adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik Duryodana, pemimpin para Korawa, putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gandari. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa.

Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam Sabhaparwa , yang mengisahkan permainan dadu antara lima Pandawa melawan seratus Korawa. Dropadi, istri para Pandawa menjadi budak para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi tidak berhasil berkat pertolongan Kresna. Peristiwa itu memperkeruh permusuhannya dengan Bima. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam perang di Kurukshetra pada hari ke-16.


Dalam pewayangan Jawa,
Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala. Ia digambarkan sebagai wayang dengan tubuh yang gagah, bermulut lebar, dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, gemar menggoda wanita, dan senang menghina orang lain.
Nama Duhsasana terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".
Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam keadaan tidak wajar. Dikisahkan bahwa Gandari merasa iri terhadap Kunti, iparnya sendiri yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira, sementara ia belum melahirkan meskipun sudah hamil tua. Dalam frustasi, Gandari memukul-mukul kandungannya sehingga mengeluarkan segumpal daging berwarna keabu-abuan dari rahimnya. Resi Byasa, paman suaminya segera dipanggil ke istana untuk mengatasi keanehan tersebut. Berkat pengetahuannya, daging tersebut dibelah sampai berjumlah seratus potongan. Ia memasukkan potongan daging tersebut, masing-masing ke dalam sebuah pot, lalu menguburnya di dalam tanah.

Setahun kemudian, salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama Duryodana, yang lahir bersamaan dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama Bimasena. Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran Arjuna, putra ketiga Kunti. Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.

Sebanyak 100 orang putra Dretarastra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pandawa. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa meskipun bersaudara sepupu, Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat iri hati, karena Yudistira dicalonkan sebagai penerus takhta. Di samping itu, mereka diajarkan cara-cara untuk mencelakai para Pandawa oleh paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari yang memiliki dendam terhadap Dinasti Kuru.

Cerita Dursasana dalam Versi pewayangan Jawa

Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjunut. Istrinya bernama Dewi Saltani, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.
Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai putra mahkota yang baru. Namun, Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke Hastina dengan alasan menjaga Dewi Banowati, kakak iparnya. Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Sebagai balasannya, Dursasana membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Sebagai pembenaran, ia menuding bahwa Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.

Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial. Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.

Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga ia itu gagal mencapai sungai. Bima segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling. Melihat adiknya tersiksa, Duryudana segera memohon agar Bima mengampuni Dursasana, bahkan ia menjanjikan bahwa perang dapat berakhir pada hari itu juga, dengan Pandawa sebagai pemenangnya. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dibebaskan.

Penawaran dari Duryodana membuat Bima bimbang. Tetapi Kresna, penasihat para Pandawa mendesaknya supaya tidak mengampuni Dursasana. Menurutnya, Pandawa pasti menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna yang mengingatkan kembali kekejaman para Korawa, berhasil membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh, kemudian memutus kedua lengan Dursasana secara paksa. Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil. Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.

Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya.

Tokoh karakter Wayang Kapi Menda

Kapi Menda


Kapi Menda dahulunya berwujud manusia. Ia adalah cantrik Resi Gotama di pertapaan Erraya/Grastina dan menjadi pengasuh Sugriwa/Guwarsa, akibat peristiwa rebutan Cupumanik Astagina dan ikut terjun ke dalam telaga Sumala, Menda berubah wujud menjadi wanara/kera dan namanya menjadi Kapimenda.
Seperti halnya Sugriwa, Kapimenda juga melakukan tapa ngidang karena ingin berubah wujud kembali menjadi manusia. Karena tapanya itu, ia menjadi sangat sakti. Kapimenda berwatak; jujur, setia dan sangat patuh, ketika Sugriwa menjadi raja kerajaan Gowa Kiskenda, Kapimenda diangkat menjadi patih khusus dalam urusan keraton dan keprajuritan.





Kapimenda mempunyai andil yang sangat besar dalam mengamankan pembuatan tambak/jembatan penyeberangan di atas laut untuk menyeberangkan jutaan balatentara kera Alengka. Ia berhasil membunuh Yuyurumpung, raksasa berkepala ketam/yuyu punggawa Prabu Dasamuka yang selalu merobohkan bangunan tambak. Dalam perang Alengka, Kapimenda tampil sebagai salah satu senapati mendampingi Prabu Sugriwa tatkala menghadapi Arya Kumbakarna, adik Prabu Dasamuka dari kesatrian/negara Leburgangsa. Laskar perangnya berhasil mengobrak-abrik dan memukul mundur balatentara raksasa Lemburgangsa.

Setelah perang Alengka berakhir, Kapimenda melanjutkan tapanya di hutan Suryapringga. Akhir hidupnya tak banyak diketahui sebagaimana halnya wanara lainnya.

Monday, August 3, 2020

Properti Photobooth wedding

Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dalam momen pernikahan. Tidak hanya gaun pernikahannya saja, tetapi ada hal-hal lain seperti gedung, catering, dekorasi. Satu hal yang kini menjadi tren anak sekarang adalah menyediakan photobooth atau tempat foto untuk tamu undangan.

Demi memeriahkan suasana, para pengantin akan mengundang banyak tamu baik teman maupun sahabat dan pastinya keluarga untuk datang. Tak hanya itu penyanyi pernikahan juga turut dihadirkan untuk memeriahkan suasana pada saat sesi foto dan bersalaman.

Di kesempatan ini jangan sampai melewatkan momen manis dan indah untuk mengabadikan orang-orang yang datang dalam sebuah foto maupun video di photobooth. Biasanya butuh banyak inspirasi photobooth yang menarik dan berkesan untuk pilihan dekorasi saat pernikahan kamu.

contoh salah satu properti photobooth unik

______________________________

_____________________

_______________________________


_______________________________

___________________

_______________________

___________________-

_____________________

_______________________

Sunday, August 2, 2020

Cakil dalam Pewayangan

Cakil
CAKIL, tokoh raksasa dalam dunia pewayangan, khususnya pada Wayang Purwa. Meskipun Cakil bukan termasuk raksasa yang berukuran tubuh besar, bentuk penampilannya mudah dikenali. Rahang bawahnya menonjol panjang ke depan dengan satu gigi bawah mencuat panjang ke atas. Matanya selalu mengeriyip, agak memicing.

Selain itu warna suaranya juga khas, seperti suara orang tercekik, nadanya tinggi, berbeda dengan suara raksasa pada umumnya yang bernada rendah dan lantang. Hampir dalam setiap lakon ia muncul sebagai ‘komandan’ pasukan raksasa yang bertugas menjaga atau tapal batas kerajaan tertentu, Namun, dalam beberapa lakon tertentu Cakil juga tampil dengan peran menonjol.

Cakil muncul dalam lakon-lakon wayang dengan berbagai nama, antara lain Ditya Kala Gendir Penjalin, Ditya Kala Carang Aking, Kala Klantang Mimis. Ki Dalang kadang-kadang bahkan menciptakan nama baru bagi tokoh ini. Ia merupakan satu-satunya raksasa yang bersenjata keris, bukan satu tetapi dua, kadang-kadang tiga, tetapi selalu mati tertusuk kerisnya sendiri.

Tokoh peraga wayang Cakil oleh kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak digelung.

Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang Orang.

Refersensi lain

Kita tidak lagi asing terhadap sastra kuno Mahabrata yang selama ini kita ketahui berasal dari India. Namun, tidak seluruhnya cerita memiliki alur dan kisah yang sama jika dibandingkan dengan cerita adaptasi Indonesia.

Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Selain itu, versi Indonesia juga memiliki wayang kulit yang berasal dari Jawa maupun Bali sebagai media penghantar pengkisahan yang dilakukan oleh para dalang. Kisah asal-mula beberapa karakter tentunya memiliki beberapa perbedaan contohnya; dalam versi India, Gandari sangat menyayangi Pandawa meskipun beliau bukan anaknya. Sebaliknya dalam versi Indonesia, Gandari sangat membenci Pandawa.

Adapun karakter yang tidak dapat ditemukan dalam versi India seperti Buto Cakil. Karakter Buto Cakil ataupun yang sangat dikenal dengan sebutan Cakil ini merupakan 100% inovasi Jawa. Julukannya biasa dipanggil Gendir Penjalin dan memiliki wujud raksasa dengan ciri fisik rahang bawah yang maju ke depan. Tak heran beberapa komunitas motor terkadang menyebut helm serupa cakil karena sangat mirip dengan bentuk fisik tokoh tersebut. Meskipun berbentuk raksasa dan termasuk antagonis, Buto Cakil merupakan karakter yang mudah disukai. Buto Cakil tidak garang ganas pemarah seperti raksasa biasanya, justru ia suka bergurau dan suka bersenang-senang. Meskipun ia sangat humoristis, Buto Cakil merupukan tokoh yang pantang menyerah dan kukuh memegang kepecayaannya dan selalu berjuang sampai akhir hingga titik darah penghabisan.

Cakil bukanlah seorang yang tangguh. Ia sangat pasif dan tidak suka cari perkara dengan raksasa lain ataupun satria yang terlihat sangat kuat dan megah. Oleh sebab itu, ia sukanya mencegat ksatria kerempeng berpembawaan halus, atau ksatria muda lembut yang sekiranya mudah untuk dikalahkan. Itulah sebabnya, dalam Perang Kembang, Cakil selalu dipertemukan dengan Arjuna. Dalam setiap penampilan Buto Cakil yang dipaparkan, dia selalu bertempur dengan Arjuna yang baru turun keluar dari pertapaan di pelosok. Arjuna versi Jawa, sosoknya bertubuh langsing, halus gerak geriknya, dan saat keluar dari pertapaan, tidak menyandang pakaian kebesaran ksatria, tapi berpenampilan apa adanya. Pada kisah lain, Buto Cakil bertempur dengan Bambangan, ksatria muda yang baru keluar dari padepokan. Biasanya adalah putra Arjuna yang dalam setiap kegiatan blusukannya tak lupa menikahi perawan desa putra pertapa. Bisa dikatakan bahwa Cakil merupakan seorang yang pengecut atau orang yang sangat berjaga-jaga dalam memilih lawan. Bagaimanapun juga, Cakil dikenal selalu mati oleh tangannya sendiri. Di cerita Perang Kembang, ia tertusuk oleh kerisnya. Cakil mengajarkan kita bahwa orang yang berperilaku buruk di masa lalu dapat mendatangkan musibah bagi diri sendiri.
Tidak ada yang yakin pasti darimanakah Buto Cakil benar-benar berasal. 

Siapakah orang tua Cakil sebenarnya? Apakah dia seorang yatim-piatu yang kemudian diangkat oleh para raksasa? Sebagian besar orang mengatakan bahwa Cakil adalah sisi lain Arjuna. Kita tahu bahwa Arjuna terkenal dengan kebaikan dan kelemahlembutannya. Namun, ia juga terkenal dangan julukan Danasmara (perayu ulung) dan Janaka (memiliki banyak istri). Layaknya satria pemadi dan pemberani, dapat dikatakan bahwa Arjuna lemah dalam mengendalikan hawa nafsu birahi. Arjuna pernah dikisahkan telah memperkosa Dewi Anggraeni yang telah menolak cintanya. Ditengah-tengah hutan ditinggalnya Dewi Anggreni dalam keadaan hamil membuat hidup sang dewi sangat menderita dan diliputi kebencian serta dendam yang sangat mendalam pada Arjuna. Setelah berhasil melahirkan bayinya, Dewi Anggraeni meninggal dunia. Bayi yang dilahirkannya berwujud raksasa sebagai lambang nafsu bejat Arjuna dan dendam sang Dewi. Kelak kemudian hari bayi inilah yang dipanggil Cakil, anak hasil pemerkosaan Arjuna pada Dewi Anggraeni.

Jadi, bagaimana pendapat anda jika mendengar kisah tersembunyi tersebut? Apakah Arjuna perlu dihukum atas perlakuannya? Haruskah Buto Cakil mendapatkan balas dendam kepada Arjuna? Apa ini sebabnya mereka selalu dipertemukan? Pertemuan dan kisah antara Arjuna dan Cakil akan selalu menjadi hal yang lebih dari unik dalam kisah Mahabrata versi Jawa.

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...