Saturday, August 22, 2020

Prabu Salya dalam Pewayangan Jawa

assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh
salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya  dan Salam Kebajikan

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madrim. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madrim menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata. Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Prabu Salya mempunyai sifat dan perwatakan; tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih–lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.

Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayuda oleh Prabu Yudhistrira atau Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada

Raja Salya adalah raja dari Kerajaan Madra dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai pemanah ulung dan kusir kereta yang handal.

Salya merupakan kakak Madri, istri kedua Raja Pandu, ayah para Pandawa. Menjelang terjadinya perang besar di Kurukshetra atau Bharatayudha, ia ditipu pihak Kurawa sehingga terpaksa berperang melawan para Pandawa. Salya akhirnya gugur pada hari ke-18 di tangan Yudistira.

Menurut kitab Mahabharata, Salya adalah putra Artayana Raja Madra sebelumnya. Setelah Artayana meninggal, Salya menggantikannya sebagai raja, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu raja Hastinapura yang kemudian melahirkan Nakula dan Sadewa.

Merujuk pada nama ayahnya, Salya dalam Mahabharata sering pula disebut Artayani. Versi kitab Mahabharata menyebut Salya memiliki dua orang putra bernama Rukmarata dan Rukmanggada. Namun siapa nama istrinya atau ibu dari kedua anak tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Sementara itu, versi Bharatayuddha (naskah berbahasa Jawa Kuno) menyebut nama istri Salya adalah Satyawati. Dari perkawinan itu kemudian lahir Rukmarata.

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madri. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudhana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata.

Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Dalam versi pewayangan jawa Salya yang sewaktu muda bernama Narasoma pergi berkelana karena menolak dijodohkan oleh kayahnya. Di tengah jalan ia bertemu seorang brahmana raksasa bernama Resi Bagaspati yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Bagaspati mengaku memiliki putri cantik bernama Pujawati yang mimpi bertemu Narasoma dan jatuh hati kepadanya. Narasoma menolak lamaran Bagaspati karena yakin Pujawati pasti juga berparas raksasa. Keduanya pun bertarung. Narasoma kalah dan dibawa Bagaspati ke tempat tinggalnya di Pertapaan Argabelah. Sesampainya di Argabelah, Narasoma terkejut mengetahui bahwa Pujawati ternyata benar-benar cantik. Ia pun berubah pikiran dan bersedia menikahi putri Bagaspati tersebut.

Narasoma yang sombong merasa jijik memiliki mertua seorang raksasa. Pujawati yang lugu menyampaikan hal itu kepada Bagaspati. Bagaspati menyuruh putrinya itu memilih antara ayah atau suami. Ternyata Pujawati memilih suami. Bagaspati bangga mendengarnya dan mengganti nama Pujawati menjadi Setyawati. Setyawati menyampaikan kepada Narasoma bahwa ayahnya siap mati daripada mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka. Bagaspati rela dibunuh asalkan Setyawati tidak dimadu. Setelah Narasoma bersedia tidak menikah lagi kemudian ia menusuk Bagaspati namun tidak mempan. Bagaspati sadar kalau memiliki ilmu kesaktian bernama Candabirawa. Ia pun mewariskan ilmu tersebut kepada Narasoma terlebih dulu. Narasoma kemudian menusuk siku Bagaspati, titik kelemahannya sehingga Bagaspati tewas seketika. Narasoma kemudian membawa Setyawati pulang ke Mandaraka.

Mandrapati menyambut kedatangan Narasoma dan Setyawati dengan gembira. Namun, ia berubah menjadi sedih begitu mendengar kematian Bagaspati yang ternyata merupakan sahabat baiknya. Mandrapati pun marah dan mengusir Narasoma pergi dari istana. Madri yang masih rindu segera menyusul kepergian kakaknya itu.

Narasoma dan Madri tiba di Kerajaan Mandura, tempat sayembara untuk mendapatkan putri negeri tersebut yang bernama Kunti. Dengan mengerahkan Candabirawa, Salya (Narasoma) berhasil mengalahkan semua pelamar dan memenangkan Kunti. Pandu pangeran dari Hastinapura datang terlambat dan memutuskan untuk pulang. Narasoma mencegah dan menantangnya. Namun Pandu tidak mau melayani tantangan itu karena Salya sudah ditetapkan sebagai pemenang. Salya yang sombong terus memaksa, bahkan menyerahkan Kunti dan Madri sekaligus jika Pandu mampu mengalahkan dirinya. Pandu terpaksa melayani tantangan Salya.

Salya mengerahkan ilmu Candabirawa. Dari jarinya muncul raksasa kerdil tapi ganas, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Pandu sempat terdesak, namun atas nasihat pembantunya yang bernama Semar, ia pun mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada Tuhan. Dengan cara tersebut, Candabirawa justru lumpuh dengan sendirinya. Salya menyerah kalah. Tujuannya ikut sayembara bukan karena menginginkan Kunti, namun hanya sekadar untuk mencoba keampuhan Candabirawa saja. Sesuai perjanjian, Kunti dan Madri pun diserahkan kepada Pandu.

Salya kembali ke Mandaraka dan dikejutkan oleh kematian ayahnya. Konon, Mandrapati sangat sedih atas kematian Bagaspati yang tewas dibunuh Salya. Ia merasa telah gagal menjadi ayah yang baik dan memutuskan untuk bunuh diri menyusul sahabatnya itu. Narasoma kemudian menggantikan kedudukan Mandrapati sebagai raja, bergelar Salya. Pemerintahannya didampingi Tuhayata sebagai patih.

Dalam masa pemerintahannya, ia langsung menerima lamaran Duryudhana, raja Hastinapura untuk menikahi Erawati, putri sulungnya. Namun, Erawati kemudian hilang diculik orang. Erawati berhasil diselamatkan oleh Baladewa yang saat itu menyamar sebagai pendeta muda. Menurut perjanjian, seharusnya Erawati diserahkan kepada Baladewa. Namun hal itu ditunda-tunda karena Salya lebih suka memiliki menantu seorang raja. Setelah ia tahu bahwa Baladewa adalah raja Kerajaan Mandura, Erawati pun diserahkan kepadanya.

Salya kembali menerima lamaran Duryudhana untuk Surtikanti. Namun putri keduanya itu diculik dan dinikahi Karna. Duryudhana merelakannya karena Karna banyak berjasa kepadanya. Ia kemudian menikahi putri Salya yang lain, yaitu Banowati. (cerita tersebut diatas ada di pewayangan jawa dan tidak ada dalam cerita Mahabharata india)

Tokoh Kresna dalam Pewayangan Jawa


dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati atau Dwaraka, kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara tetapi dalam versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan. Kakaknya bernama Baladewa atau Balarama alias Kakrasana dan adiknya dikenal sebagai Sembadra atau Subadra, Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama.

Menurut pewayangan jawa anak-anak kresna adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, dia berperan sebagai sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding, dia memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan dia dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".

Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Thursday, August 20, 2020

Cerita wayang - Kresna Duta

Kresna Duta

Pandawa telah selesai menjalani masa pembuangan dan pengasingan selama 13 tahun. Sudah menjadi hak Pandawa untuk kembali mendapatkan Astina dan Amarta kembali yang diambil oleh Kurawa. Untuk itu, para Pandawa meminta bantuan Sri Kresna untuk menjadi duta Pandawa dalam menempuh jalan damai antara Pandawa dan Korawa.

Sri Kresna berangkat ke Astina dengan dikusiri oleh Sencaki. Setibanya di Astina, Kresna segera menuju tempat Arya Widura untuk member hormat kepada IbuKunti dan paman Widura.

Sementara, tetua dan pembesar-pembesar Astina telah berkumpul di aula kerajaan menunggu kedatangan duta Pandawa tersebut.

Kresna memasuka aula kerajaan dan kemudian menyampaikan kedatangannya yaitu sebagai duta Pandawa. Pandawa yang telah selesai menjalani hukuman, ingin meminta haknya kembali atas Indraprastha (Amarta).

Sejak awal, Kurawa memang tidak ingin mengembalikan Amarta kepada Pandawa. Prabu Duryudana pun menolak permintaan Sri Kresna. Duryudana memberikan berbagai alasan yang memang sudah direncakan untuk memperkuat alasan mereka mengapa tidak ingin mengembalikan Indraprastha kepada Pandawa.

Doryudana mengatakan bahwa tindakan Pandawa mengadakan upacara Rajasuya menunjukkan bahwa Pandawa mengagungkan diri mereka sendiri.

Sri Kresna kemudian menjawab bahwa Rajasuya itu bukan merupakan keputusan Yudhistira melainkan merupakan kesepakatan raja-raja yang mengakui Yudhistira sebagai raja arif bijaksana.

Doryudana kemudian berdalih bahwa para Pandawa telah melanggar hukuman ketika terjadi perselisihan antara Hastina dan Wirata. Pandawa telah menampakkan diri dan bahkan mengangkat senjata terhadap para Korawa.

Sri Kresna kemudian membalas bahwa saat itu menurut hitungannya, para Pandawa sudah terlepas dari masa hukuman dan mereka mengangkat senjata karena saat itu mereka sedang mengabdi di Wirata . Sebagai penduduk Wirata sudah menjadi kewajiban mereka untuk mengangkat senjata demi membela Negara.

Mendengar perdebatan antara Duryudana dan Kresna, Eyang Bisma berusaha menengahi. Namun, usahanya ternyata sia-sia. Duryudana justru menganggap bahwa Eyang Bisma memang lebih memilih Pandawa daripada Korawa.

Akhirnya, Sri Kresna menanyakan keputusan Korawa untuk terakhir kalinya, apakah Doryudana akan mengembalikan hak Indraprastha kepada Pandawa atau tidak.

“Para Pandawa telah menghina keluarga Hastina terutama Korawa, semua Korawa telah sepakat tidak akan duduk setingkat dengan para Pandawa dan tidak akan mengembalikan Indraprastha”, Jawab Doryudana.

Jawaban itu membuat Sri kresna kesal dan kemudian ia berkata, “ Doryudana, para tetua disini akan menjadi saksi atas perkataanmu, perkataanmu ini harus kau pertangunggjawabkan di kemudian hari. Aku akan memberitahukan keputusanmu kepada Pandawa!”.

Sri Kresna kemudian meninggalkan gedung pertemuan. Ia menuju ke sebuah taman di dalam istana Hastina. Tampak matanya bersinar tanda amarhnya telah memuncak. Kresna bertriwikrama, berubah ujud menjadi Brahala, makhluk raksasa yang luar biasa besar.

triwikrama Kresna membuat seluruh Astina gempar dan ketakutan. Para Korawa berlarian kesana kemarin mencari tempat bersembunyi.Resi Drona yang juga ketakutan tidak berani meninggalkan gedung. Sementara Eyang Bisma dan Arya Widura dengan tenang meninggalkan gedung pertemuan tanpa rasa takut seperti tidak terjadi apa-apa.

triwikrama Bathara Wisnu juga membuat gempar kahyangan. Para dewa khawatir dan turun untuk melihat triwikrama Sri Kresna.

Para dewa bingung bagaimana harus menghentikan triwikrama Sri Kresna. Maka mereka memutuskan, untuk menjemput Bathara Darma untuk menenangkan kemarahan triwikrama.

Dewa kebijaksanaan dan kesabaran tersebut pean-pelan mendekati triwikrama dan memberi hormat.

Sang Tiwikarma menjawab dengan sebuah peringatan, “ Ger gerrr.. gerr jangan dekat dekat Dharma, jika kau tidak ingin kucabik-cabik tubuhmu”.

“Aku bukanlah musuhmu wahai triwikrama, bahkan aku bersedia membantumu untuk mengalahkan musuhmu”, jawab Bathara Dharma.

“Aku tidak butuh bantuanmu untuk menghancurkan Korawa-Korawa sombong ini”, jawab sang triwikrama.

Bathara kemudian menuturkan,” Sesakti itukah para Korawa, sehingga perlu dihancurkan oleh triwikrama? Apakah kejahatan mereka mengguncang mayapada seperti Rahwana? Apakah perlu Tiwikarama yang sakti sebagai wakil dewata untuk turun tangan menghancurkan Kejahatan Korawa?”

“ Saudara Wisnu mohon ingat bahwa jika Korawa dihancurkan oleh triwikrama ini akan membuat malu bagi seluruh Dewata. Apakah para Pandawa tak dapat membela diri mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan para dewata? Mohon adik Wisnu memperhitungkan lagi tindakan ini yang akan mencoreng muka seluruh dewata dan juga memalukan Pandawa.”

Mendengar penuturan Batara darma, dalam sekejap triwikrama itu menghilang dan kembali sebagai Sri Kresna.

Sri Kresna kemudian ke tempat paman Widura untuk mohon diri dan member hormat kepada Arya Widura dan ibu Kunti. Ia pergi meninggalkan Hastina untuk menyampaikan berita hasil pertemuan dengan Korawa kepada para Pandawa.

Saturday, August 15, 2020

Tokoh Baladewa dalam pewayangan jawa

Baladewa dalam pewayangan Jawa


Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, seorang swarawati keraton Mandura.
Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.


Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tetapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.


Sebenarnya Baladewa memihak Kurawa, maka dalam Kitab Jitabsara ketika ditulis skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Prabu Kresna tahu bahwa para dewa merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden Anantareja dan Baladewa mati. Ketika melihat catatan itu Prabu Kresna ingin menyelamatkan Prabu Baladewa dan Raden Anantareja agar tak ikut perang sebab kedua orang itu dianggap Prabu Kresna tak punya urusan dalam perang Baratayuda. Prabu Kresna menyamar menjadi kumbang lalu terbang dan menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis, tinta tumpah dan menutupi kertas yang ada tulisan Anantarejo kemudian kumbang jelmaan Prabu Kresna juga menyambar pena yang dipakai tuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya dalam Kitab Jitabsara yaitu kitab skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa tak ada tulisan Raden Anantareja dan Prabu Baladewa. Maka sebelum perang Baratayuda Prabu Kresna membujuk Anantareja supaya bunuh diri dengan cara menjilat telapak kakinya sendiri, akhirnya Raden Anantareja mati sebagai tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Prabu Kresna juga punya siasat untuk mengasingkan agar Prabu Baladewa tidak mendengar dan menyaksikan Perang Baratayuda yaitu dengan meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Baratayuda, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Baratayuda.


Ada yang mengatakan Baladewa sebagai titisan naga sementara yang lainnya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Baratayuda, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.


Thursday, August 13, 2020

Srenggini teryata adalah putra bima

Srenggini adalah anak keempat raden Werkudara dengan ibu Rekatawati yang berwujud Kepiting putri dari Dewa Rekatatama. Pada suatu waktu ketika Raden Bratasena berpisah dengan Dewi Urang Ayu, ibu Antasena, Raden Werkudara mengeluarkan kama atau mani yang ia kibaskan ke pasir dipinggir pantai. Dan ketika itu Dewi Rekatawati mencari makan, tanpa disengaja meminum kama Bratasena yang jatuh karena tidak bisa bersenggama dengan Dewi Urang Ayu.

Kelak kejadian ini akan melahirkan 2 ksatria yang tangguh yaitu Raden Antasena dan Raden Srenggini. Raden Antasena Putra raden Bratasena atau Bima dengan dewi Urang Ayu. Sedangkan Raden Srenggini anak Bratasena dengan Dewi Rekatawati. Antasena berjalan tidak seperti layaknya manusia lain, dia berjalan dengan tangan selalu di belakang tubuh. Hal ini karena tangan Antasena sangat berat karena di tangannnya bersemayam ari – ari dan air ketubannya disebut kadang papat kalima pancer.

Karena itu pula dalam versi Banyumas Antasena kalau berperang tidak pernah menyentuh musuhnya, tetapi hanya menggerakkan tangannya saja dan musuhnya bergerak mengikuti gerakan tangan Antasena seperti kaprabawan atau di sengat setrum. Selain itu Antasena mempunyai upas atau racun.

Sedangkan Srenggini berjalan miring layaknya Kepiting atau wayang Srenggini mirip Antasena wajahnya tetapi tidak bergelung winangkara dan mempunyai Capit di kepalanya. Dia memiliki kekuatan yang namanya aji Thothoksewu.

Tuesday, August 11, 2020

Properti photo wedding bagian ke 2

Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dalam momen pernikahan. Tidak hanya gaun pernikahannya saja, tetapi ada hal-hal lain seperti gedung, catering, dekorasi. Satu hal yang kini menjadi tren anak sekarang adalah menyediakan photobooth atau tempat foto untuk tamu undangan.

Demi memeriahkan suasana, para pengantin akan mengundang banyak tamu baik teman maupun sahabat dan pastinya keluarga untuk datang. Tak hanya itu penyanyi pernikahan juga turut dihadirkan untuk memeriahkan suasana pada saat sesi foto dan bersalaman.

Di kesempatan ini jangan sampai melewatkan momen manis dan indah untuk mengabadikan orang-orang yang datang dalam sebuah foto maupun video di photobooth. Biasanya butuh banyak inspirasi photobooth yang menarik dan berkesan untuk pilihan dekorasi saat pernikahan kamu.


















Bilung dan Togog

BERBICARA tentang punakawan dalam dunia pewayangan, yang selalu ada dalam benak kita hanyalah “Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.” Sedikit dari masyarakat Indonesia -- kecuali orang Jawa Tulen – yang mengenal dua tokoh punakawan bernama Togog dan Mbilung. Berbeda dengan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebagai pendamping para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat baik atau berakhlak mulia, sedangkan Togog dan Mbilung bertugas mendampingi para Raja dan Ksatria yang hadir dengan sifat angkara murka atau berakhlak tercela.

Bagi yang sudah tahu Togog dan Mbilung akan mengkategorikan kedua tokoh itu sebagai punakawan oportunitis. Karena, keduanya tidak pernah setia pada satu raja saja. Sebenarnya, mereka mengabdi bukan karena oportunitis, melainkan tugas mereka selesai dengan kalahnya raja mereka di tangan tokoh protagonis dalam sebuah lakon.

Sebenarnya, tugas Togog dan Mbilung sama seperti Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing raja mereka. Namun, tugas Togog dan Mbilung lebih sukar, pasalnya mereka harus meluruskan bibit-bibit keangkaramurkaan yang telah nampak pada raja mereka. Saat sang raja sudah tidak menggubris mereka, sampai situlah tugas mereka

Kedua tokoh tersebut memiliki keunikan dalam dunia pewayangan Jawa. Togog dan bilung berbicara dengan dua bahasa yang berbeda. Togog berbahasa Jawa sedangkan bilung berbahasa melayu. Uniknya, meski berbeda bahasa, keduanya saling mengerti satu dengan yang lainnya saat berbicara. Dalam dunia pewayangan, Togog selalu digambarkan dengan sosok berbibir dower sedangkan bilung selalu menggunakan pakaian yang memiliki ciri khas pakaian melayu.

Meskipun Togog dan Mbilung memiliki tugas yang sama dengan Semar dan anak-anaknya, yakni membimbing rajanya ke jalan yang lurus, Togog dan Mbilung lebih terjun pada raja yang sudah dzalim. Tugas mereka berdua jauh lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya. Tugas Togog dan Mbilung seperti meluruskan benang basah atau mencari jarum di dalam tumpukkan jerami.

Bila dibandingkan dengan Semar dan anak-anaknya, Togog dan Mbilung jauh lebih kritis, cenderung “pedas” mengritisi atasan mereka. Hanya saja, kritiknya tersebut kurang diperhatikan oleh sang raja. Banyak alasannya, namun mungkin saja apa yang dibicarakan Togog dan Mbilung tidak dipahami oleh sang raja. Maklum saja, dengan bibir yang dower, bahasa yang keluar dari mulut Togog kurang didengar dengan jelas dan bahasa melayu yang digunakan oleh Mbilung maka pesan yang disampaikan tidak dipahami oleh sang raja, karena sang raja tidak begitu mengerti bahasa melayu.

Togog dan Mbilung memang digambarkan selalu mengikuti raja yang berwatak jahat, namun bukan berarti mengabdi kepada kejahatan. Sanggit watak tersebut dapat diartikan bahwa keduanya selalu berkaitan dengan upaya memberantas kejahatan. Artinya, di mana ada keangkaramurkaan, di situ harus ada sosok Togog dan Mbilung. Bukankah itu sama dengan fungsi polisi? Di mana ada kejahatan, di situ harus ada polisi. Sekecil apapun bentuk kejahatan itu. Mungkin nama ‘Bayangkara’ hanya kebetulan, namun kenyataan menunjukkan bahwa tugas-tugas polisi selalu berdekatan dengan bebaya lan angkara atau bahaya, kejahatan dan keangkaramurkaan. Sama dengan tugas yang harus diemban oleh Togog dan Mbilung. Dan nasib Polisi – dalam banyak hal -- ‘sama’ dengan Togog dan Mbilung. Sering bertarung dengan ‘hati nurani sendiri’, karena harus berpihak pada para pemangku kepentingan yang lebih dominan. Memang berat, tetapi harus dilakukan demi tugasnya sebagai ‘pendamping’ para Raja atau Ksatria yang kadang-kadang lupa akan amanahnya sebagai Pemimpin.

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...