Dalam naskah Paramayoga, Bharata Narada adalah putra Sanghyang Caturkaneka. Ayahnya adalah sepupu Sanghyang Tunggal, ayah dari Batara Guru.
Pada awalnya Narada berwujud tampan. Ia bertapa di tengah sebuah samudera sambil memegang pusaka pemberian ayahnya, bernama cupu Linggamanik. Hawa panas yang dipancarkan Narada sempat membuat kahyangan geger. Batara Guru mengirim putra-putranya untuk membangunkan Narada dari tapanya, Akan tetapi tidak seorang pun dewa yang mampu memenuhi dan melaksanakan perintah tersebut. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa.
Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri untuk menghentikan tapa Narada. Narada pun terbangun. Keduanya kemudian terlibat perdebatan seru. Batara Guru yang merasa kalah pandai marah dan mengutuk Narada sehingga berubah wujud menjadi jelek.
Sebaliknya, karena Narada telah dikutuk tanpa penyebab yang jelas, Batara Guru pun menderita cacad berlengan empat. (Sebenarnya bertangan 4 ini adalah pengejewantahan dari sedulur papat lima pancer). Ia pun sadar bahwa Narada memang lebih pandai darinya. Maka, ia pun memohon maaf dan meminta Narada supaya sudi tinggal di kahyangan sebagai penasihatnya.
Dalam pentas pedalangan, tempat tinggal Batara Narada disebut dengan nama Kahyangan Sidiudal-udal. Atau Sidik pangudal udal.