Friday, July 17, 2020

SEMAR : Sejarah, Sifat dan Karakteristik - miniatur wayang

SEMAR

Punakawan berasal dari kata Pana yang artinya paham, dan kata kawan yang berarti teman. Tokoh wayang yang terdiri dari 4 sosok yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ini memang menjadi sajian yang dinanti dalam berbagai pertunjukan wayang semalam suntuk. Pasalnya,kisah tokoh Punakawan terbilang lucu dan memiliki pesan tersendiri. Lalu, seperti apa karakter tokoh Punakawan tersebut?

DOWNLOAD VIA GOOGLE DRIVE

Sifat Perwatakan Tokoh Semar
Kalau dalam istilah Jawa-nya, Semar ini sifatnya ‘Nyegara’ yang artinya hatinya seluas samudera. Di mana ia dipercaya kapraman dan kewaskitaan-nya sedalam samudera. Tak heran, jika hanya ksatria sejati saja yang bisa menjadi asuhan Semar.

Jika dilihat dari karakter fisiknya, Semar memiliki karakter fisik yang cukup unik. Tapi, keunikan fisik inilah yang dijadikan simbol dari kehidupan ini oleh masyarakat Jawa.

Semar memiliki bentuk tubuh bulat yang mana mengibaratkan bahwa bumi ini bulat. Raut wajah yang selalu tersenyum juga mata yang sembab mengeluarkan air mata ini merupakan simbol antara suka dan duka yang selalu ada dalam kehidupan kita.

Religius
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut sebagai Badranaya yang merupakan dua istilah di antaranya Bebadra yang artinya membangun sarana dari awal, dan Naya yang artinya Utusan mangrasul. Jika diartikan secara sederhana, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia di muka bumi.


Semar

Semar sendiri juga memiliki istilah lain yaitu Haseming samar-samar yang artinya makna kehidupan Sang Penuntun. Semar bukan laki-laki, bukan juga perempuan. Tangan kanannya ke atas yang bermakna sang Maha Tunggal, dan tangan kirinya ke belakang yang bermakna berserah pada-Nya.
Siapa Semar Sebenarnya
Siapa yang tak kenal Semar? Setidaknya kebanyakan orang tahu Semar adalah pimpinan empat sekawan ‘Punakawan’. Sepintas memang tokoh Semar sebatas melucu dan pereda ketegangan penonton di tengah malam. Namun, menurut Sobirin bahwa dulu Sang Hyang Wenang menciptakan Hantigo berupa telur. Cangkangnya itu Togog, sedang putihnya menjadi Semar. Sedangkan kuningnya menjadi Batara Guru.

Semar yang memiliki badan gemuk tak jelas laki-laki atau perempuan. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan masing-masing memiliki ciri khas. Kesempurnaan hanya milik Tuhan.

Umumnya, masyarakat mengenal bahwa Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa yang mana memiliki anugerah Mustika Manik Astagina dan delapan daya. Delapan daya itu adalah tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah kepanasan, dan tak tak pernah kedinginan.

Sejarah Eyang Semar
Menurut pendapat seorang sejarawan, Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar ini pertama kali ditemukan di dalam karya sastra pada zaman kerajaan Majapahit yang berjudul Sudamala. Karya sastra tersebut dalam bentuk kakawin juga dipahat dalam bentuk relief di Candi Sukuh yang dibuat tahun 1439.

Tokoh Semar ini merupakan hamba atau abdi tokoh utama dalam kisah Sahadewa yang merupakan sosok dari keluarga Pandawa. Tentunya, Semar bukan hanya sebagai pengikut semata, melainkan juga sebagai penghibur lara dalam mencairkan suasana yang tegang.

Di zaman berikutnya, saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun mulai digunakan sebagai media dakwah. Salah satunya adalah kisah Mahabarata yang mana kisah tersebut sudah melekat di benak masyarakat Jawa. Salah satu Ulama yang menggunakan wayang sebagai media dakhwa adalah Sunan Kalijaga. Di dalam dakwahnya, Semar masih tetap ada, bahkan lebih dominan dibandingkan dengan kisah Sudamala.

Kemudian, di era selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat, di mana para Pujangga Jawa mulai mengkisahkan Semar bukan sebagai rakyat jelata saja, melainkan juga sebagai jelmaan Batara Ismaya yang merupakan kakanya Batara Guru alias rajanya para dewa.

Banyak sekali versi yang menkisahkan asal usul Semar. Namun sebagian besar mengatakan bahwa Semar adalah jelmaan Dewa.

Seperti yang ditulis dalam naskah Serat Kanda yang mengkisahkan penguasa kahyangan adlah Sang Hyang Nurrasa dan memiliki dua putra yang bernama Sanghyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, maka tahta kahyangan pun diturunkan ke Sang Hyang Wenang. Kemudian, tahta diwariskan lagi ke putranya yang bernama Batara Guru, hingga Sang Hyang Tunggal pun menjadi pengasuh para ksatria turunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Siapa yang tak kenal dengan Semar? Tokoh yang selalu muncul di setiap kisah pewayangan, apapun judulnya dan apapun kondisinya. Dia selalu ada. Lalu siapa semar sebenarnya? Di kalangan masyarakat Jawa, ternyata tokoh wayang Semar bukan hanya sebagai fakta historis saja, melainkan lebih ke simbolis dan mitologis tentang ke-Esa-an. Di mana merupakan simbol dari pengejawantahan ekspresi, pengertian, dan persepsi tentang ke-Tuhan-an dan lebih ke konsep spiritual.

Bisa dikatakan bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah merupakan masyarakat yang religius dan ke-Tuhan-an yang Maha Esa.

Filosofi Kata Bijak Ki Semar
Di setiap pementasan wayang, Semar selalu menyampaikan kata-kata bijaknya yang sifatnya lebi hke umum. Sehingga kata-kata bijak Semar masih relevan dengan siapapun dan kapanpun. Berikut ini adalah beberapa kata bijak Semar.

Urip iku Urup
Yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah Hidup itu Menghidupi. Hidup itu harus bisa memberikan manfaat pada semua orang di sekitar kita. Di sinilah kenapa hidup itu menghidupi. Agar hidup kita lebih bermakna, maka kita harus bermanfaat bagi setiap orang di sekitar kita.

Sura Dira Jaya Jayaningrat, Leburing Dening Pangastuti
Jika di-Indonesiakan, maka artinya semua sifat picik, keras hati, dan angkara murka di dalam diri kita hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijaksana, sabar, dan lembut hati. Ibarat api tidak bisa dipadamkan dengan api. Perlu air untuk memadamkannya. Begitu juga dengan sifat jelek kita, harus kita redam dengan sifat baik kita, yaitu dengan kebijaksanaan, rendah hati, dan sabar.

Datan Sering Lamun Ketaman, Datang Susah Lamun Kelangan
Kata bijak Semar yang satu ini memiliki makna, bahwa jangan bersedih saat mengalami musibah yang menimpa kita, juga jangan sedih jika kita sedang kehilangan sesuatu. Karena semua akan kembali kepada-Nya. Inilah hakikat hidup.
Itulah beberapa kata bijak dari Semar yang sering dilontarkan saat pementasan wayang di malam hari. Biasanya saat penutupan, kata-kata itu terlontar sebagai makna kehidupan dan acuan kita menjalani hidup yang haqiqi.

Kesaktian Semar: Senjata Kentut
Kesaktian Semar Mesem Menurut Islam Yang SebenarnyaMeskipun Semar hanya rakyat biasa dan menjadi Punakawan para ksatria dan raja, tapi Semar memiliki kesaktian yang melebihi kemampuan Batara Guru, rajanya para dewa. Di mana Semar selalu bisa mengatasi kesaktian Batara Guru yang selalu mengganggu Pandawa Lima saat dalam asuhan Semar.

Ada lagi senjata yang paling ampuh yang dimiliki Semar, yaitu ‘kentut’. Kentut berasal dari dalam diri Semar itu sendiri, sehingga senjata ini bersifat dari pribadi Semar dan bukan alat yang dibuat oleh manusia. Senjata ini pun bukan untuk membunuh, melainkan untuk menyadarkan.

Dalam satu kisahnya, Semar menggunakan senjata ‘kentut’ saat melawan resi yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima. Di mana ujungnya tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, melainkan semuanya sadar kembali dalam perwujudan semula. Semar sendiri menggunakan senjata ‘kentut’ ini ketika ia sudah tidak bisa mengatasi masalah dengan senjata lain.

Thursday, July 16, 2020

Wisanggeni

WISANGGENI
Wisanggeni
Bambang Wisanggeni merupakan nama seorang tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata, karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa. Ia dikenal sebagai putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Batari Dresanala, putri Batara Brama. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.

Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Batari Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para dewa.
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brama menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brama yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak dijadikan Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brama pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.
Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brama membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.

Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna "racun api". Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, sang dewa penguasa api. Selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni.
Atas petunjuk Narada, Wisanggeni pun membuat kekacauan di kahyangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkannya, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, leluhur Batara Guru. Batara Guru dan Batara Brama akhirnya bertobat dan mengaku salah. Narada akhirnya bersedia kembali bertugas di kahyangan.
Wisanggeni kemudian datang ke Kerajaan Amarta meminta kepada Arjuna supaya diakui sebagai anak. Semula Arjuna menolak karena tidak percaya begitu saja. Terjadi perang tanding di mana Wisanggeni dapat mengalahkan Arjuna dan para Pandawa lainnya.
Setelah Wisanggeni menceritakan kejadian yang sebenarnya, Arjuna pun berangkat menuju Kerajaan Tunggulmalaya, tempat tinggal Dewasrani. Melalui pertempuran seru, ia berhasil merebut Dresanala kembali.
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan basa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.
Kesaktian Wisanggeni dikisahkan melebihi putra-putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja, Gatutkaca, ataupun Abimanyu. Sepupunya yang setara kesaktiannya hanya Antasena saja. Namun bedanya, Antasena bersifat polos dan lugu, sedangkan Wisanggeni cerdik dan penuh akal.
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.

Tuesday, July 14, 2020

Koleksi Pola Miniatur Wayang Bagian ke satu

Wayang kulit adalah Seni Tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.
Wayang berasal dari kata "Ma Hyang" yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa.
Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna "bayangan", hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.

Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). .

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003

Pola Gambar Wayang untuk miniatur

Drupadi         Download Via Google Drive
Yudistira        Download via Google Drive
Bimasena       Download Via Google Drive
Arjuna           Download Via Google Drive
Nakula dan Sadewa    Download Via Google Drive

untuk cara pembuatannya silahkan tonton video di bawah

Setyaki

Satyaki atau Yuyudhana adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia berasal dari Warsneya, salah satu  bangsa Yadawa, yang memihak para Pandawa dalam perang Baratayuda. Ia merupakan salah satu sekutu Pandawa—selain Kresna dan Yuyutsu—yang masih hidup setelah perang berakhir.
Di Dalam pewayangan Jawa, Satyaki merupakan sepupu Kresna dan Pandawa. Ia berasal dari Kerajaan Lesanpura yang tinggal di Kasatriyan Swalabumi.
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa Satyaki adalah seorang kesatria Yadawa, putra Satyaka. Kakeknya ialah Sini, seorang pemuka keluarga Wresni (Warsneya). Sini melamar Dewaki sebagai istri Basudewa. Dalam peristiwa itu ia harus bersaing dengan Somadata, keturunan Bahlika dari Hastinapura.

Menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra Satyajit, Raja Lesanpura, dengan Warsini. Ia memiliki adik perempuan bernama Satyaboma (Satyabama). Satyajit merupakan adik termuda Basudewa dan Kunti. Dengan kata lain, Satyaki adalah adik sepupu Kresna dan para Pandawa. Di samping itu, Satyajit merupakan nama lain dari Ugrasena.
Menurut Mahabharata, Satyajit dan Ugrasena adalah dua orang tokoh yang berbeda. Satyajit merupakan panglima Kerajaan Pancala, sedangkan Ugrasena adalah raja bangsa Yadawa di Mathura. Di samping itu, ayah Satyabama bernama Satrajit, sedangkan adik Kunti bernama Purujit.
Pewayangan Jawa menggabungkan tokoh Ugrasena, Satyajit, Satrajit, dan Purujit menjadi satu tokoh saja, yaitu Satyajit dari Lesanpura. Sementara itu, tokoh Satyaka dalam pewayangan Jawa bukanlah ayah Satyaki, melainkan nama putra Satyaboma. Dengan kata lain, Satyaka versi Jawa adalah keponakan Satyaki.

Versi pewayangan Jawa mengisahkan ketika Warsini mengandung, ia mengidam ingin bertamasya menunggang macan putih. Satyajit mendatangkan para keponakannya, yaitu Kresna, Baladewa dan para Pandawa untuk ikut membantu. Ternyata yang berhasil menangkap macan putih idaman Warsini adalah Kresna. Namun, macan putih tersebut penjelmaan Singamulangjaya, patih Kerajaan Swalabumi yang diutus rajanya, yaitu Prabu Satyasa untuk menculik Warsini. Singamulangjaya segera membawa Warsini kabur begitu naik ke punggungnya.
Kresna yang dicurigai Satyajit segera mengejar Singamulangjaya. Di tengah jalan, Singamulangjaya mencoba mengeluarkan isi kandungan Warsini. Lahirlah seorang bayi yang bukannya mati, tetapi justru bertambah besar setelah dihajar Singamulangjaya. Akhirnya, bayi tersebut berubah menjadi pemuda dan membunuh Singamulangjaya. Arwah Singamulangjaya bersatu ke dalam diri pemuda itu.

Warsini memberi nama putranya yang sudah dewasa dalam waktu singkat itu dengan nama Satyaki. Kresna pun menemukan mereka berdua. Bersama mereka menyerang dan membunuh Satyasa sebagai sumber masalah. Satyaki kemudian menduduki Kerajaan Swalabumi sebagai daerah kekuasaannya.
Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Satyaboma (Satyabama) dilamar oleh Drona dengan dukungan para Korawa. Tujuan lamaran ini hanya sekadar untuk menjadikan Kerajaan Lesanpura sebagai sekutu Kerajaan Hastina. Satyaki segera mengumumkan sayembara bahwa jika ingin menikahi kakaknya harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu.
Satu per satu para Korawa maju namun tidak ada yang mampu mengalahkan Satyaki. Bahkan, Drona sekalipun dikalahkannya. Arjuna selaku murid Drona maju atas nama gurunya. Satyaki yang gentar meminta bantuan Kresna. Maka, Kresna pun meminjamkan Kembang Wijayakusuma kepada Satyaki.
Dengan berbekal bunga pusaka milik Kresna, Satyaki dapat menahan serangan Arjuna, bahkan berhasil mengalahkan Pandawa nomor tiga tersebut. Ternyata Kresna juga melamar Satyaboma untuk dirinya sendiri. Dalam pertarungan adu kesaktian, Kresna berhasil mengalahkan Satyaki dan mempersunting Satyaboma. Dari perkawinan antara Kresna dan Satyaboma lahir seorang putra bernama Satyaka.
Menurut versi Mahabharata Satyaki memiliki sepuluh orang putra yang semuanya mati di tangan Burisrawa dalam perang Baratayuda. Sementara itu, menurut versi Jawa, Satyaki hanya memiliki seorang putra saja bernama Sangasanga yang tetap hidup sampai perang berakhir. Sangasanga kemudian menjadi raja Kerajaan Lesanpura sepeninggal Satyajit dan Satyaki. Meskipun demikian, ia tetap mengabdi sebagai panglima Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit cucu Arjuna. Sangasanga merupakan putra Satyaki dari perkawinannya dengan Trirasa.
Dalam perang Baratayuda yang meletus di Kuruksetra, Satyaki memihak para Pandawa. Ia bahkan dipercaya memimpin salah satu di antara tujuh aksohini pasukan Pandawa.
Peran Satyaki tampak menonjol pada hari ke-14, ketika ia ditugasi Arjuna untuk menjaga Yudistira dari serangan Drona. Menurut versi Mahabharata, Arjuna merupakan guru Satyaki dalam ilmu memanah. Sementara itu menurut versi Jawa, murid Arjuna adalah Srikandi yang kemudian menjadi istrinya. Pada hari tersebut Arjuna bergerak mencari Jayadrata yang telah menyebabkan putranya, yaitu Abimanyu tewas. Satyaki sendiri mati-matian melindungi Yudistira yang hendak ditangkap hidup-hidup oleh Drona sebagai sandera. Drona adalah guru Arjuna, sedangkan Satyaki adalah murid Arjuna. Namun, dalam pertempuran itu Drona memuji kesaktian Satyaki setara dengan Parasurama, yaitu guru Drona sendiri.
Setelah keadaan aman, Yudistira memaksa Satyaki pergi membantu Arjuna. Dalam keadaan letih, Satyaki menerobos barisan sekutu Korawa yang menghadangnya. Tidak terhitung jumlahnya yang mati. Namun ia sendiri bertambah letih. Burisrawa maju menghadang Satyaki. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan Burisrawa. Dengan pedang di tangan ia siap membunuh Satyaki yang sudah jatuh pingsan. Adapun Burisrawa merupakan putra Somadatta yang dulu dikalahkan Sini kakek Satyaki sewaktu melamar Dewaki.
Arjuna yang mengendarai kereta dengan Kresna sebagai kusir sudah mendekati tempat persembunyian Jayadrata. Kresna memintanya untuk berbalik membantu Satyaki. Mula-mula Arjuna menolak karena hal itu melanggar peraturan. Namun, Kresna berhasil meyakinkan Arjuna bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk menolong Satyaki yang sudah bersusah payah datang membantunya. Arjuna akhirnya memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa terkejut dan menuduh Arjuna berbuat curang. Arjuna membantah karena Burisrawa sendiri hendak membunuh Satyaki yang sudah pingsan serta ikut serta mengeroyok Abimanyu. Burisrawa sadar atas kesalahannya. Ia pun duduk bermeditasi. Tiba-tiba Satyaki sadar dari pingsan dan langsung memungut potongan lengan Burisrawa yang masih memegang pedang. Dengan menggunakan pedang itu ia membunuh Burisrawa.
Menurut versi Kakawin Bharatayuddha, Satyaki membunuh Burisrawa menggunakan pedang Mangekabhama, menurut versi Serat Bratayuda menggunakan panah Nagabanda, sedangkan menurut versi pewayangan menggunakan gada Wesikuning.

Saturday, July 11, 2020

Pandu Dewanata

Kisah Pandu dalam Pewayangan Versi Jawa

Dalam pewayangan jawa, Pandu adalah putera kandung Byasa yang menikah dengan Ambalika, janda Wicitrawirya. Byasa kemudian mewarisi takhta sementara Hastinapura, sampai Pandu dewasa.

Pandu digambarkan berwajah tampan tetapi cacat di bagian lehernya.  Hal ini dikarenakan, saat pertama menjumpai Byasa, ibundanya memalingkan mukanya.
Pandu
Download Via Google Drive
Pandu juga dikisahkan pernah diminta para dewa untuk menumpas musuh kahyangan yaitu Prabu Nagapaya, raja raksasa dari negeri Goabarong. Ia mendapat hadiah berupa pusaka minyak Tala atau “Lenga Tala” atas keberhasilannya.

Pandu menikah dengan Kunti setelah memenangkan sayembara di negeri Mathura. Bahkan, ia mendapat hadiah tambahan , yaitu Puteri Madri, setelah berhasil mengalahkan Salya, kakak Madri. Di tengah jalan ia berhasil mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar, setelah berhasil mengalahkan kakaknya, Prabu Gendara. Gandari kemudian diserahkan kepada Dretarastra, kakak Pandu.

Pandu kemudian naik takhta menggantikan ayahnya Byasa, dan bergelar Prabu Pandu Dewanata atau Prabu Gandawakstra. Ia didampingi Patih Gandamana, yaitu pangeran dari kerajaan Panchala. Ia memiliki lima orang putera yaitu Pandawa. Dalam pewayangan Jawa, diceritakan bahwa kelimanya adalah putera kandung Pandu, bukan hasil pemberian Dewa. Para Dewa hanya membantu kelahiran mereka, kelimanya lahir di Hastina bukan di hutan.

Pandu meninggal bukan karena bersenggama dengan Madri melainkan karena berperang melawan Prabu Tremboko, muridnya sendiri. Dikisahkan, Madri ingin bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik kahyangan mengajukan permohonan istrinya, dan sebagai syarat ia rela berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu, Pandu dan Madri pun kemudian bertamasya di ats punggung Lembu Nandini. Setelah puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan kemudian, Madri melahirkan Nakula dan Sadewa.

Akibat adu domba dari Sangkuni, Pandu terlibat perang melawan muridnya sendiri yaitu raja raksasa dari negeri Pringgodani bernama Prabu Tremboko. Perang in dikenal dengan Pamoksa. Dalam perang itu, Tremboko gugur terkena panah Pandu, namun ia sempat melukai paha Pandu menggunakan keris “Kyai Kalanadah”. Akibat luka itu, Pandu jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Pandu kemudian menitipkan Hastinapura kepada kakaknya, Drestarastra hingga para Pandawa dewasa.


Kisah Pandu

Pandu atau Prabu Pandudewanata adalah salah satu tokoh dalam Wiracarita Mahabharata. Ia adalah ayah dari kelima Pandawa. Pandu adalah putera kedua dari Begawan Byasa (Abiyasa). Ia memiliki kakak bernama Dretarasta dan adik bernama Widura. Pandu memiliki dua istri yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madri.

Dikisahkan kedua pewaris takhta Hastinapura, yaitu Wicitrawirya dan Citranggada meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat memberikan keturunan bagi penerus kerajaan Kuru. Oleh karena itu, untuk melanjutkan keturunan, kedua janda Wicitrawirya dan Citranggada yaitu Ambika dan Ambalika diserahkan kepada Begawan Byasa agar diupacarai sehingga memperoleh keturunan. Ambika yang pertama mendapat giliran, disuruh oleh Satyawati, ibu mertuanya untuk mengunjungi Byasa ke dalam sebuah kamar sendirian, dan disana ia akan diberi anugerah. Namun, karena takut, Ambika terus menutup matanya saat berhadapan dengan Resi Byasa, sehingga putera yang dilahirkannya buta dan diberi nama Dretarastra.

Begitu juga dengan Ambalika, ia disuruh untuk menghadap Resi Byasa, namun ia sudah dipesan oleh Satyawati dan Ambika untuk tidak menutup matanya agar anak yang dilahirkan nanti tidak buta. Ambika memang tidak menutup matanya, namun ia menjadi pucat saat melihat wajah Begawan Byasa, maka putera yang dilahirkannya berwajah pucat dan diberi nama Pandu (Sansekerta; Pandu berarti pucat).

Pandu adalah seorang pemanah yang mahir. Ia memimpin tentara Dretarastra dan memerintah kerajaan untuknya. Sebenarnya pewaris takhta Hastinapura adalah Dretarastra, kakaknya, namun karena ia buta, maka takhta diserahkan kepada Pandu.

Pada masa pemerintahannya , Hastinapura berkembang pesat, Pandu berhasil menaklukan wilayah Dasarna, Kashi, Anga, Wanga, Kalianga, Magadha, dan masih banyak wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya.

Pandu menikah dengan Kunti, puteri Raja Kuntiboja dari Wangsa Wresni dan Madri, puteri Raja Madra. Sebenarnya, kelima anak Pandu, yaitu Pandawa bukanlah anak kandungnya, karena saat ia berburu di hutan, tanpa sengaja Pandu memanah seorang Resi yaitu Resi Kindama yang saat itu sedang bersenggama dengan istrinya dalam wujud seekor  kijang. Oleh karena itu, Pandu dikutuk, bahwa ia akan menemui ajalnya, saat ia bersenggama denga istrinya.

Pandu yang merasa bersalah kemudian meninggalkan Hastinapura dan hidup  di hutan seperti pertapa. Kunti dan Madri pun dengan setia menemani sang suami. Pandu berkeinginan mempunyai keturunan, tetapi ia tidak bisa melakukannya dengan istrinya. Maka dari itu, Kunti menggunakan mantra rahasia yang ia kuasai untuk memanggil  Para Dewa agar memberikan anugerah putera kepada mereka. Kunti memanggil Dewa Yama, Bayu dan Indra. Lahirlah Yudhistira, Bima dan Arjuna. Kemudian ia memberi  kesempatan kepada Madri untuk meminta kepada seorang putera dari Dewa yang dipanggilnya. Madri memanggil Dewa Aswin, maka ia dikarunia dua putera kembar, yaitu Nakula dan Sadewa. Kelima putera Pandu, itu kemudian dikenal sebagai Pandawa.

Kutukan Resi Kindama terbukti, Pandu meninggal saat ia mencoba bersenggama dengan Madri, saat Kunti dan para puteranya sedang berada jauh dari mereka. Madri kemudian menitipkan Nakula dan Sadewa kepada Kunti, dan ia membakar dirinya sendiri untuk menyusul suaminya ke alam baka.


Thursday, July 9, 2020

secuil cerita tentang Sri Rama atau Ramacandra

RAMAYANA - Sri Rama / Ramacandra
Sri Rama


Rama, Sri Rama atau Ramacandra adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah putera dari Prabu Dasarata (raja Ayodhya) dengan Kosalya.Rama dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang berarti manusia sempurna. Ia juga diyakini sebagai awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman Tretayuga. Rama bristrikan Dewi Sita atau Dewi Sinta, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua anak kembar yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam wiracarita Ramayana, diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, Triloka diteror oleh seorang raja raksasa yang bernama Rahwana. Para Dewa tidak bisa menandingi kekuatan Rahwana sehingga membuat mereka cemas. Akhirnya Dewa Bumi menghadap kepadaBrahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam dan seisinya. Para Dewa akhirnya memutuskan agar Dewa Wisnu bersedia menjelma menjadi seorang manusia untuk menegakkan dharma dan menyelamatkan dunia. Dewa Wisnu bersedia mendapat tugas itu dan berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera Prabu Dasarata dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya, Dewa Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang kemudian menjadi Laksmana dan Laksmi yang menjadi Sita (Sinta).
Raja Dasarata saat itu merindukan kehadiran putera, kemudian ia mengadakan upacara Putrakama Yadnya (memohon putera) kepada Dewa. Para Dewa mengabulkan permintaan Dasarata dan memberikan air suci agar diminum ketiga istrinya. Dari anugerah tersebut  lahirlah Rama dari Kosalya, Bharata dari Kekayi, dan Laksmana serta Satrugna dari Sumitra. Keempat pangeran Ayodhya itu tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil dalam memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista.
Suatu hari, Raja Dasarata kedatangan Resi Wiswamitra yang meminta bantuan Rama untuk mengusir para raksasa yang mengganggu yadnya  para resi di hutan. Sebenarnya Dasarata keberatan mengabulkan permohonan Wiswamitra, karena Rama masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa itu. Namun ia juga takut akan kutukan Resi Wiswamitra. Akhirnya Prabu Dasarata pun mengabulkan permohonan Wiswamitra dan mengizinkan puteranya untuk membantu para resi.
Dalam  perjalanan mereka ke Sidhasrama yaitu kediaman para resi, Rama dan Laksmana mendapat mantra sakti dari Resi Wiswamitra yaitu Bala dan atibala. Saat melewati hutan Dandaka, Rama berhasil membunuh rekshasi Tataka.
Tibalah mereka di Sidhasrama, datanglah raksasa Marica dan Subahu mengotori sesajen dengan darah dan daging mentah. Melihat hal itu, Rama dan Laksmana segera bertindak, namun atas permintaan Rama, Marica akhirnya diampuni oleh Laksmana. Sedangkan Subahu tidak diberi ampun oleh Rama, dengan senjata Agneyastra atau panah Api, Rama membakar tubuh Subahu sampai menjadi Abu. Dengan bantuan Rama dan Laksmana, akhirnya pelaksaan yadnya para resi berlangsung dengan lancar dan aman.

Ramayana
Di Mithila diadakan Sayembara untuk memperebutkan Dewi Sita, Wiswamitra kemudian mengajak Rama dan Laksmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka berdua pun setuju dan pergi menuju Mithila. Sementara di Mithila belum ada satu orang pun yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sinta, yaitu mengangkat dan membengkokan busur panah Siwa.
Rama kemudian tampil ke muka, ia tidak hanya berhasil mengangkat dan membengkokan busur panah Siwa, tetapi juga mematahkannya menjadi tiga bagaian. Melihat kemampuan Rama tersebut, Prabu Janaka, ayah Sita memutuskan untuk mengambil mantu Rama.Utusan dikirim ke Ayodhya untuk memberi kabar tersebut. Pabu Dasarata bahagia, karena puteranya sudah mendapatkan istri di Mithala, dan ia pun segera berangkat ke Mithila untuk menghadiri upacara pernikahan Rama, puteranya.
Rama kemudian memboyong Sinta ke Ayodhya, dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Resi Parasurama yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Ia memegang sebuah busur di bahunya yang konon adalah busur Wisnu. Parasurama mendengar kabar bahwa Rama telah mematahkan busur Siwa, dan ia menantang Rama untuk membengkokan busurnya. Rama menerima tantangan tersebut, dan dengan mudah busur Wisnu itu dibengkokannya.Rama kemudian berkata, “ Panah Waisnawa ini harus mendapat mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”. Parasurama menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal. Kemudian ia pamit untuk pergi ke Gunung Mahendra.
Dasarata sudah tua, ia ingin turun takhta dan mengangkat putera sulungnya Rama, untuk menggantikannya. Persiapan untuk upacara penobatan Rama sudah disiapkan, namun Kekayi kemudian meminta Agar Dasarata menobatkan Bharata menjadi Raja dan Rama dibuang selama 14 tahun. Mendengar permintaan Kekayi, Dasarata sedih tetapi ia juga tidak bisa menolak  karena ia terikat janji dengan Kekayi. Dan dengan berat hati Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja dan meminta Rama untuk meninggalkan Ayodhya.
Rama menerima keputusan ayahnya, dengan disertai istri tercintanya Sinta dan Laksmana mereka pergi mengembara di hutan. Karena kesedihan yang berlarut-larut, akhirnya Dasarata wafat.
Bharata yang baru kembali ke Ayodhya, menjumpai ayahandanya sudah tiada, dan Rama pun sudah meninggalkan Ayodhya. Kekayi, ibundanya kemudian menjelaskan bahwa ialah yang kini menjadi raja, namun Bharata tidak menginginkan hal itu, ia kemudian menyusul Rama dan memberikan kabar duka serta meinta Rama untukkembali ke Ayodhya untuk menjadi Raja. Namun Rama menolak, dan ia memberikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Akhirnya Bharata bersedia menjadi raja di Ayodhya dengan membawa sandal milik Rama dan meletakkannya di singgasana, itu sebagai lambang bahwa ia memerintah Ayodhya atas nama Rama.
Saat menjalani pengasingan di hutan, Rama dan Laksmana di datangi oleh rekshasi bernama Surpanaka yang mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik. Ia menggoda Rama dan Laksmana, namun mereka menolaknya.Surpanaka yang sakit hatidan iri melihat kecantikan Sita,hendak  membunuhnya. Dengan sigap Rama melindungi Sinta dan Laksmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang menyebabkan hidung Surpanaka terluka.
Dengan rasa malu, Surpanaka kemudian mengadu kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah dan membalas dendam kepada Rama. Dengan angkatan perang yang besar, ia menggempur Rama, namun mereka semua tewas. Akhirnya Surpanaka mengadu kepada Rahwana di kerajaan Alengka. Rahwana marah dan ia mengajak patihnya yang bernama Marica untuk membalas dendam kepada Rama.
Marica menyamar sebagai seekor kijang yang akan mengalihkan perhatian Rama. Kijang itu melompat-lompat di halaman pondokan Rama, Sinta dan Laksmana. Melihat ada kijang yang lucu, Sinta meminta suaminya untuk memburu kijang Tersebut. Rama dan Laksmana sebenarnya tahu bahwa kijang itu bukanlah kijang biasa, namun karena desakan Sita, akhirnya Rama memburu kijang tersebut.Sementara Laksmana ditugaskan untuk menjaga Sita di pondokan.
Rama mengejar kijang itu sampai ke tengah hutan,ia kemudian memanahnya, seketika kijang itu berubah wujud menjadi Marica. Saat Marica sekarat, ia mengerang keras dengan menirukan suara Rama. Mendengar suara itu,Dewi Sita merasa ada sesuatu yang buruk menimpa suaminya, maka ia pun meminta Laksmana untuk menyusul Rama. Awalnya Laksmana menolak, namun karena desakan Sinta akhirnya ia menjalankan perintah kakak iparnya itu. Tapi sebelumnya, ia membuat lingkaran pelindung agar tidak ada orang jahat yang mampu menculik Sita.
Sementara Rahwana menyamar menjadi brahmana tua, datang mendekati Sinta. Ia mengiba dan berhasil membuat Sita keluar dari lingkaran yang dibuat oleh Laksmana dan dengan cepat ia menculik Sinta dibawa ke Alengka.
Mengetahui istrinya sudah tidak ada, perasaan Rama menjadi terguncang. Kemudian Rama dan Laksmana menyusuri pelosok gunung, hutan dan sungai untuk mencari keberadaan Sinta. Dalam perjalanan, mereka menemukan ceceran darah dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah telah terjadi suatu pertempuran.Rama berpikir itu adalah pertempuran raksasa yang memperebutkan Sita.
Namun, tidak lama kemudian ia bertemu dengan seekor burung yang sedang sekarat, burung itu adalah Jatayu, sahabat Raja Dasarata. Jatayu kemudian memberitahu Rama dan laksmana bahwa Sinta diculik Rahwana. (Jatayu terluka karena berusaha untuk menyelamatkan Sinta dari Rahwana)
Setelah selesai mengadakan upacara pembakaran jenazah Jatayu, Rama dan Laksmana melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanan, mereka bertemu denga raksasa aneh yang memiliki tangan panjang. Akhirnya, Rama dan Laksmana memotong lengan raksasa tersebut. Namun raksasa tersebut kemudian berubah wujud mejadi seorang dewa bernama Kabanda. Dengan petunjuk Kabanda, mereka pergi ke tepi sungai Pampa untuk mencari Sugriwa di bukit Resyakuma.
Sugriwa yang mendengar ada dua kesatria yang menuju wilayahnya, kemudian mengutus Hanoman untuk mencari tahu siapa sebenarnya dan apa tujuan mereka berdua. Hanoman kemudian pergi dengan menyamar sebagai brahmana dan bertemu dengan Rama dan Laksmana. Mereka terlibat percakapan yang cukup lama, Rama menceritakan peristiwa yang menimpanya dan maksud tujuannya mencari Sugriwa. Setelah mendengar pengakuan dari Rama, Hanoman kemudian merubah ke wujud aslinya dan mengantar mereka bertemu dengan Sugriwa.
Akhirnya Rama dan Sugriwa membuat perjanjian bahwa mereka akan saling membantu. Saat itu Sugriwa sedang berusaha untuk merebut kembali kerajaan Kiskenda dari kakaknya, Subali. Akhirnya dengan bantuan Rama, Subali berhasil dikalahkan dan Kiskenda kembali ke tangan Sugriwa.
Sesuai janji, kini saatnya Sugriwa membantu Rama untuk menyelamatkan Sita yang diculik Rahwana. Sugriwa mengutus Hanoman untuk ke Alengka mencari keberadaan Sinta. Hanoman berhasil menemukan Sita di Alengka, dan menyampaikan kabar bahwa Rama dalam keadaan baik-baik saja dan akan menyelamatkannya. Sebenarnya, Anoman mengajak Sinta untuk meninggalkan Alengka dan bertemu dengan Rama kembali. Namun, sinta menolak , dia ingin Rama sendiri yang menjemputnya. Hanoman tidak bisa memaksa, dan ia kembali memberikan kabar kepada Rama.
Setelah menyusun strategi, bala tentara wanara berangkat menuju Alengka. Dan atas saran Wibisana, adik Rahwana yang memilih untuk berada di pihak Rama, pasukan wanara membuat jembatan menuju ke Alengka.
Rama dan pasukannya kemudian menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara Alengka. Rahwana kemudian mengirimkan mata-mata untuk meninjau kekuatan musuh. Mata-mata itu menyamar menjadi wanara, sehingga tidak ada yang tahu kecuali Wibisana.
Wibisana kemudian menangkap mata-mata tersebut dan dihadapkannya kepada Rama. Utusan Rahwana itu memohon apun dan berkata bahwa ia hanya menjalankan perintah. Rama mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat kekuatan tentara Rama dan berpesan agar Rahwana segera mengembalikan Sita.
Pada hari terakhir, dengan menggunakan kereta perang Dewa Indra yang dikusiri Matali, Rama maju ke medan laga. Rama berhadapan dengan Rahwana, dan dengan senjata Brahma Astra, Rama berhasil membunuh Rahwana.
Setelah berhasil menyelamatkan Dewi Sinta, Rama kemudian memberikan Alengka kepada Wibisana dan memberikan wejangan kepada Wibisana agar membangun kembali negara Alengka.

asal usul Dewi shinta dalam pewayangan di Indonesia

Shinta versi Pewayangan di Indonesia

Dalam versi Pewayangan di Indonesia, khususnya jawa Sita lebih sering dieja dan di ucapkan dengan nama Shinta.
download versi google drive

Shinta merupakan puteri dari seorang bidadari bernama Batari Tari atau  Kanun isteri dari Rahwana. Konon, Shinta adalah titisan dari Btari Widawati istri dari Dewa Wisnu.
Pada bulan ke-7 Kanun yang tengah “mitoni” kehamilannya, tiba-tiba membuat geger istana Alengka, lantaran bayi yang  dikandung itu diramalkan oleh beberapa pendeta yang ada dalam pesta,  bakal jadi “isteri” Rahwana (ayahnya sendiri). Rahwana naik pitam. Ia bangkit dari singgasananya serta berkeinginan  memenggal kepala Kanun. Namun sebelum  terwujud tiba-tiba Rahwana membatalkan niatnya karena berpikir siapa tahu anaknya akan menjadi anak yang cantik. Dengan demikian, diapun akan bersedia untuk menikah dengannya.
Benar saja, dikala Rahwana tengah dinas luar, permaisurinya melahirkan seseorang bayi wanita dengan wajah yang amat cantik bercahaya laksana bulan purnama. Wibisana (adik Rahwana) yang suci serta penuh dengan perikemanusiaan itu, selekasnya mengambil bayi itu serta dimasukkan ke dalam ketupat Sinta, lalu dilabuhkan ke dalam sungai. Cuma Dewa lah yang dapat menolongnya, begitulah pikir Wibisana. Ia selekasnya membuat mega mendung yang hitam menjadi seseorang bayi lelaki yang nantinya bakal bernama Megananda atau  Indrajit.
Syahdan seorang pertapa bernama Prabu Janaka dari negeri Mantili, memohon pada dewa supaya dianugerahi keturunan. Begitu terkejutnya dia saat membuka mata, mendengar tangis bayi dalam ketupat yang sedang tenggelam terapung di sungai. Bayi itu diambilnya dengan senang dibawanya pulang diangkat sebagai anaknya. Lantaran bayi itu diketahui berada didalam ketupat Sinta, maka ia diberinya nama Sinta. Setelah berusia 17 tahun Sinta membikin geger semua pemuda, baik taruna-taruna dalam negeri ataupun luar negeri karena kecantikannya.
Suatu hari, dibuatlah sayembara. Siapa saja yang dapat menarik busur raksasa pusaka negara Mantili, akan menjadi jodoh Sinta.
Ramawijaya yang tengah berguru pada Brahmana Yogiswara, disarankan untuk mengikuti sayembara. Jelas saja, Rama sukses, lantaran ia merupakan titisan Wisnu . Pertunangan serta perkawinan sekalian disemarakkan dengan pesta pora, baik dinegeri Mantili ataupun di Ayodya. Tetapi nasib kurang baik untuk mereka berdua, ketika menikmati bulan madu, tiba-tiba mahkota kepunyaannya diminta  oleh Kekayi, ibu tiri Rama.
Dasarata Bapak Rama disuruh agar menyerahkan mahkota pada Bharata (adik Rama). Selain itu Rama, Sinta dan Laksmana mesti meninggalkan istana masuk rimba belantara selama 13 tahun lamanya.
Dalam pembuangan di rimba, Sinta tidak kuasa menahan hasratnya untuk menguasai Kijang Kencana yang menggodanya, yang tidak seharusnya dipunyai oleh seseorang yang tengah prihatin. Apa yang gemerlapan itu, awal mulanya disangkanya akan membahagiakan dirinya, namun malah sebaliknya. Bukan hanya Kijang Kencana yang bisa ditangkap, namun terlebih ia di tangkap serta ditawan oleh nafsunya sendiri, yang diwujudkan dalam bentuk Rahwana. Secara singkat ia diruda paripaksa, dimasukkan sangkar emas di Alengka lebih kurang 12 tahun lamanya.

Suatu saat, Rahwana berhasil dikalahkan oleh Raden Ramawijaya, hingga terbebaslah Dewi Shinta dari belenggu Rahwana.Namun, tidak hanya sampai disitu saja penderitaan Shinta. Setelah terbebas, dia masih dicurigai kesuciannya oleh suaminya sendiri Ramawijaya. Maka untuk menunjukkan bahwasanya sepanjang dalam penguasaan Raja Alengka itu Sinta belum ternoda, Shinta membuktikan diri dengan terjun kedalam api. Oleh para dewa kahyangan, Shinta diselamatkan dari amukan api yang berkobar. Loloslah Shinta dari ujian kesucian.
Dari cerita tersebut diatas, dapatlah ditarik kesimpulkan : bahwa orang yang mengejar sesuatu hal hanya dengan mengandalkan hawa napsunya dan tidak waspada, maka apa yang dia anggap akan membahagiakan dirinya itu malah justru akan mencelakakannya.

Dewi Shinta Versi Asli


Dewi Sita
Sita merupakan tokoh protagonis dalam kisah Ramayana. Ia merupakan istri dari Sri Rama, tokoh utama kisah Ramayana. Sita merupakan rinkarnasi dari Laksmi, dewi keberuntungan, istri Dewa Wisnu.
Inti dari kisah Ramayana adalah penculikan Sita oleh Rahwana raja Kerajaan Alengka yang ingin memilikinya. Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rama yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda.
Dalam bahasa Sanskerta, kata Sita bermakna "kerut". Kata "kerut" merupakan istilah puisi  pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sita dalam Ramayana kemungkinan berasal dari Dewi Sita, yang pernah disebutkan dalam Rigweda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang belimpah.
Sita juga dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki ; sebagai puteri Mithila, ia dipanggil Maithili ; sebagai istri Rama, ia dipanggil Rama. Karena berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi.
Dalam Ramayana diceritakan bahwa Sita bukan putri kandung Janaka. Di kisahkan Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara atau yadnya di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan.
Sita dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Sri Rama, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sita pun tinggal bersama suaminya di Ayodhya, ibu kota Kosala.

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...