Wednesday, July 22, 2020

Mahesasura

Menurut pewayangan di Indonesia Mahesasura adalah raja negara Gua Kiskenda, ia berwujud raksasa yang besar mengerikan berkepala kerbau dan bertanduk panjang. Patihnya bernama Lembusura berwujud raksasa juga, tetapi berkepala sapi yang bertanduk panjang. Mahesasura mempunyai saudara yang dijadikan kendaraan perangnya bernama Jatasura. Jatasura bertubuh banteng tetapi berkepala raksasa. 
Prabu Mahesasura berwatak angkaramurka. Istananya terletak dalam sebuah gua besar yang di dalamnya lebar sekali. Balatentaranya berwujud raksasa yang tak terbilang jumlahnya, berikut para senopati dan adipatinya, rata-rata sakti. Kerjanya tiap hari mengganggu rakyat, mereka merusak tanaman sawah tegalan dsb. 
Prabu Mahesasura ingin meminang bidadari Kaindran yang bernama Dewi Tara. Maka diutuslah Patih Lembusura pergi ke Kahayangan untuk meminta Dewi Tara kepada Batara Indra, untuk dijadikan permaisuri. Tetapi Batara Indra tidak mengijinkan dan ditolak lamaran Mahesasura tersebut, sehingga Lembusura pulang ke Gua Kiskenda untuk melaporkan kejadian itu kepada rajanya. Sebelum bala tentara Prabu Mahesasura menyerang Kahayangan, diseranglah negara  Gua Kiskenda oleh para Dewa hingga habis binasa bala tentara raksasa Gua Kiskenda termasuk Patih Lembusura tewas. Tinggal Mahesasura dan Jatasura yang masih hidup bersama-sama raksasa-raksasa wanita. Para Dewa tidak mampu menandingi perlawanan Mahesasura dan Jatasura, karena jika yang satu mati, dilangkahi satunya, hidup kembalilah kedua makluk itu. Namun akhirnya dapat juga dibinasakan oleh jago Dewa yang bernama Raden Subali, dengan menggunakan sekuat tenaga kedua makluk ajaib, raja dan tunggangannya itu diadunya sehingga kedua-duanya tewas, darah segar berwarna merah dan putih mengalir ke sungai keluar gua.

Wayang Mahesasura ini sebenarnya ada yang berpendapat bukan termasuk wayang simpingan, tetapi karena selama ini wayang Mahesasura sering terlihat pada pergelaran-pergelaran selalu disimping, maka di sini dimasukkan dalam wayang simpingan kiri. Bahkan pada wayang-wayang yang kurang lengkap, tokoh Mahesasura dapat digantikan dengan wayang Buta Raton.
Wayang Mahesasura berkepala kerbau nampak tanduknya yang panjang, bermahkota, berpraba, berkain raja raksasa.

Tragedi  Goa Kiskenda
Di kisahkan Goa Kiskenda merupakan tempat beraneka macam hewan ganas, Lembu Suro dan Mahesa Suro memimpin kerajaan itu dengan sewenang-wenang. Kesaktian yang mereka miliki sangat luar biasa dahsyat.
Suatu saat mereka datang ke Kahyangan mengajukan keinginannya untuk memperistri Dewi Tara putri sang Bathara Indra . Sikap itu menimbulkan kemarahan dewata. Para dewa serta merta menolak mentah-mentah lamaran tersebut. Dua saudara itu tidak bisa terima penolakan itu. Mereka lalu mengamuk ke Kahyangan.
Ribuan tentara binatang dikerahkan untuk menyerang kahyangan. Karena kesaktian keduanya sangat dahsyat, tak satupun para dewa yang dapat mengalahkan Lembu Suro dan Mahesa Suro.
Dalam keadaan demikian, Bathara Guru mencari cara untuk menumpas wadyabala Goa Kiskenda. Hanya ada satu cara yaitu dengan menggunakan kesaktian kadewataan yang maha dahsyat untuk mengalahkan mereka. Kesaktian itu bernama aji Pancasona .
Namun yang dapat menerimanya harus dia yang berhati luhur dan seorang suci yang mampu mengendalikan segala nafsunya sehingga kesaktian maha dahsyat itu tidak digunakan sewenang-wenang.
Para dewa sepakat untuk menyerahkan kesaktian itu ke pada Subali dan Sugriwa putra Resi Gotama yang sedang bertapa di Suryapringga . Bertahun-tahun Subali dan sugriwa bertapa mematikan seluruh raga dan memusatkan seluruh pancaran jiwa mereka kepada Sang Pencipta. Tujuan mereka hanya satu memohon ampun kepada dewata atas segala perbuatan yang telah mereka lakukan.
Suasana hening menjadi semarak saat Bathara Guru ditemani oleh Bathara Narada dan para dewa turun ke marcapada menemui mereka. Subali dan Sugriwa segera dibangunkan dari pertapaannya. Dan berkatalah sang raja dewa bahwa permohonan mereka akan dikabulkan dengan syarat mereka harus menumpas terlebih dahulu angkara murka yang kini bersemayam di tubuh Lembu Suro dan Mahesa Suro.
Subali dan Sugriwa bersedia. Dan sebelum mereka berangkat secara khusus, Bathara Guru menganugerahkan aji Pancasona kepada Subali dengan harapan Subali dapat menggunakannya demi perdamaian di alam ini.
Dengan kesungguhan hati, Subali dan Sugriwa berangkat ke Goa Kiskenda. Di mulut gua, Subali berpesan pada adiknya untuk waspada dan siap berjaga-jaga. Apabila keluar cairan darah berwarna merah, maka dapat dipastikan bahwa seluruh musuh telah sirna dari muka bumi ini.
Namun apabila terjadi genangan darah putih mengalir keluar gua, maka Sugriwa harus segera menutup pintu gua. Setelah Sugriwa menyanggupi, Subali langsung masuk kedalam melabrak Lembu Suro dan Mahesa Suro.
Pertempuran antara makhluk-makhluk sakti itu tidak dapat dielakkan. Dinding gua seakan runtuh menahan gempuran kesaktian dari kedua belah pihak. Dan hanya berkat kesaktian Subali yang memiliki ajian Pancasona , Lembu Suro dan Mahesa Suro dapat dibinasakan.
Kepala keduanya diadu sehingga pecah berantakan. Otak dari Lembu Suro dan Mahesa Suro hancur berantakan sehingga meleleh keluar gua. Dari luar gua, Sugriwa menanti dengan harap cemas.
Dan betapa hancur hati Sugriwa ketika mengetahui bahwa cairan yang mengalir berwarna merah dan putih. Ini berarti Subali mati bersama musuh-musuhnya. Dengan panik Sugriwa mengerahkan seluruh tenaganya dan menghancurkan pintu gua sehingga pintu gua kiskenda tertutup. Dengan kepedihan hati, Sugriwa segera melaporkan hal ini ke kahyangan.
Keadaan menjadi gembira tatkala para dewata mengetahui kabar matinya Lembu Suro dan Mahesa Suro. Namun keadaan itu berubah menjadi duka saat mengetahui Subali juga mati dalam pertempuran itu. Sugriwa yang telah melaporkan itu kemudian dianugerahi hadiah untuk mempersunting Dewi Tara. Tak lama setelah perkawinan itu, Subali tiba-tiba muncul di tengah-tengah keramaian.
Subali mengamuk dan menganggap Sugriwa telah mengkhianati dirinya. Sugriwa yang terkejut belum sempat mejelaskan apa-apa sudah langsung dihajar oleh Subali. Kesaktian Subali yang berada jauh diatas Sugriwa membuat Sugriwa semakin tidak berdaya. Bathara Guru datang melerai dan panjang lebar menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Mendengar hal itu Subali menyesal dan dengan pilu meminta maaf pada adiknya. Cinta Sugriwa yang besar kepada kakaknya itu membuatnya menerima semua yang telah terjadi. Akhirnya Subali yang sudah berdharma sebagai brahmana, menyerahkan goa Kiskenda dan Dewi Tara kepada Sugriwa. Sugriwa kemudian membangun kerajaan kera yang diberi nama Pancawati, sementara Subali melanjutkan tapa bratanya.

Sebenarnya masih banyak mitos yang menceritakan tentang keberadaan tokoh Mahesasura dan lembusura di Indonesia, contohnya
- Legenda gunung kelud sumpah sang lembusura.
- Cerita Rakyat Goa Kiskenda yang terletak di Dusun Sebolong Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon Progo. Ornamen stalagtit dan stalagnit di dalam gua menggambarkan kisah Mahesa Suro-Lembu Suro hingga runtuhnya kerajaan Gua Kiskendo.

Saturday, July 18, 2020

Antareja | Wayang Indonesia

ANTAREJA
Anantaraja atau yang lebih sering dikenal dengan Antareja merupakan salah satu tokoh dalam dunia Pewayangan yang tidak ada dalam kisah Mahabarata.



Anantaraja atau yang lebih sering disebut dengan Antareja merupakan salah satu tokoh dalam dunia pewayangan yang tidak ada dalam kisah Mahabharata. Sebab tokoh ini merupakan asli ciptaan dari para pujangga Jawa. Ia merupakan putra sulung dari Wrekodara atau Bimasena yang berasal dari keluarga Pandawa. Pewayangan klasik untuk versi daerah Surakarta mengisahkan bahwa Antareja itu merupakan nama lain dari tokoh wayang Antasena. Sedangkan untuk wayang versi Yogyakarta menyebut Antasena merupakan adik lain ibu Antareja selain Gatotkaca. Dikisahkan di dalam pewayangan modern, dalang dalam versi Surakarta juga sering mengisahkan bahwa Antareja dan Antasena merupakan dua tokoh yang tidak sama atau berbeda.
Miniatur Wayang Jawa

PERBEDAAN ANTAREJA DAN ANTASENA
Di dalam babon atau serat asli Mahabharata tidak terdapat dua tokoh yakni Antareja dan Antasena. Aliran wayang kulit Surakarta juga menganggap bahwa Antareja dan Antasena merupakan tokoh yang sama.
Sedangkan dalam versi yang lain menyebutkan bahwa Antareja dan Antasena merupakan dua tokoh yang berbeda. Walaupun keduanya merupakan sama-sama anak Werkudara alias Bima. Anak Werkudara selain Gatotkaca adalah Antareja dan Antasena. Namun peristiwa kelahiran dan ibu mereka berbeda.
Antasena adalah Batara dari bangsa udang dan hewan laut. Sehingga bisa kita lihat bahwa Antasena memiliki kulit yang bersisik udang. Kesaktian kulitnya tebal dari senjata dan ajian apapun. Disamping itu, Antasena juga bisa terbang, dia juga ahli menyelam di dalam air. Antasena juga bisa amblas ke bumi.
Antasena meninggal moksa bersama dengan saudara sepupu nya yaitu Bambang Wisanggeni putra dari Arjuna. Mereka menjadi tumbal dari kemenangan Pandawa. Walaupun keinginannya terjun ke medan laga Bharatayudha di padang Kurusetra sangat menggebu, namun Batara Guru telah mencegahnya.
Kisah ini hampir sama dengan Antareja yang belum sempat mengikuti perang Baratayuda. Kedua tokoh wayang tersebut bisa dikatakan paling Indonesia.
Sebab di dalam Wiracitra asli Mahabharata dan juga Ramayana memang sama sekali tidak ada kemunculan dua tokoh tersebut. Baik Antareja maupun Antasena
Kedua tokoh tersebut yakni Antareja dan Antasena merupakan hasil rekaan resmi dari pujangga nusantara. Tentunya ini sangat Indonesia, karena penokohan dan juga pengembangan ceritanya di dunia pewayangan nusantara telah mengandung nilai-nilai kearifan lokal.
Mengenai perbedaan anggapan bahwa Antareja dan Antasena adalah tokoh tunggal atau dua tokoh yang berbeda.
Semuanya sudah masuk ke dalam kerangka budaya nasional dan juga norma, nilai, lokal, yang sudah menjadi kewajiban kita sebagai pemangku hajat ibu pertiwi untuk mempelajari dan mengabadikan budaya kita. Supaya tidak sampai dilupakan apalagi dicuri kepemilikan fisik maupun nonfisik nya oleh negara yang lain.
ASAL USUL TOKOH WAYANG ANTAREJA
Antareja merupakan putra sulung dari Bima atau Werkudara. Salah satu dari 5 ksatria Pandawa dengan Dewi Nagagini. Dewi Nagagini merupakan putri Hyang Anantaboga dengan dewi Supreti dari kayangan Saptapertala.
Bima dengan Nagagini akhirnya menikah sesudah kebakaran Balai Sigala gala. Saat itu para Kurawa mencoba membunuh para Pandawa agar seolah-olah terjadi karena kecelakaan. Bima lalu meninggalkan Nagagini saat di dalam keadaan mengandung.
Antareja lahir, kemudian dibesarkan oleh Nagagini hingga dewasa. Ia memutuskan untuk mencari di mana ayah kandungnya. Antareja dibekali dengan pusaka Napakawaca oleh Hyang Anantaboga.
Sehingga kulit tubuhnya menjadi sangat kuat dan kebal terhadap berbagai macam senjata dan pusaka. Ia juga telah dianugerahi cincin mustikabumi oleh Nagagini yang memiliki kesaktian bisa menjauhkan diri dari kematian selama masih bisa menyentuh bumi.
Sifat Antareja dikenal yang jujur, ia begitu pada yang lebih tua, pendiam, juga memiliki rasa sayang pada yang lebih muda. Rela berkorban serta memiliki kepercayaan yang besar kepada Sang Maha Pencipta.
Di dalam perjalanan mencari ayahnya, Antareja menemukan mayat wanita di dalam perahu. Dengan cincin mustikabumi, Antareja menghidupkan kembali wanita itu yang tidak lain adalah istri Arjuna yang bernama Subadra.
Saat itu Gatotkaca mendadak menyerang Antareja. Karena Gatot Kaca diberi tugas mengawasi mayat Subadra untuk menangkap pembunuh Subadra. Akan tetapi, Subadra dengan sigap melerai keduanya dan akhirnya Antareja berkenalan dengan Gatotkaca.
Antareja dan Gatotkaca bekerjasama untuk menangkap pembunuh Subadra. Mereka akhirnya berhasil menemukannya dan pembunuh Subadra adalah Burisrawa. Kisah ini merupakan kisah pertama Antareja di dalam pewayangan Jawa yang kemudian diberi judul Subadra Larung.

KESAKTIAN YANG DIMILIKI ANTAREJA
Antareja memiliki lidah yang begitu sakti, jika telapak kaki makhluk manapun dijilat nya, maka akan mati. Antareja memiliki kulit napakawaca yang merupakan pusaka dari Hyang anantaboga. Kulitnya tersebut menyebabkan kebal terhadap senjata ataupun ajian apapun.
Disamping itu, Antareja juga mempunyai cincin mustikabumi. Kesaktian dari cincin itu bisa menjauhkan dirinya dari kematian selama dirinya masih menyentuh tanah.
Selain itu, cincin mustika bumi juga bisa menghidupkan kembali orang lain yang sudah mati. Kesaktian Antareja yang lain adalah bisa hidup dan berjalan di dalam bumi.

WATAK DAN KARAKTER ANTAREJA
Karakter yang tercermin dari fisik Antareja adalah memiliki wajah yang tampan rupawan, kulitnya bersisik dan berwarna biru, memiliki tubuh yang atletis dan juga kekar.
Di dalam anggota tubuhnya terdapat unsur karakter ular yakni gigi taring dan juga lidahnya yang panjang. Di samping itu, tangan beserta kaki Antareja sangat kuat, ia juga memiliki perut yang tebal.
Jika kita melihat sifat Antareja ia mempunyai sifat yang rela berkorban, jujur, jorok, pendiam, tegas, berwibawa, menurut, loyal, sabar, berbakti pada orang yang lebih tua dan juga sayang pada yang lebih muda. Serta ia sangat percaya pada Maha Penciptanya.
Antareja setelah dewasa menikah dengan Dewi Ganggi. Dewi Ganggi putri dari Prabu Ganggapranawa raja ular yang ada di Tawingnarmada. Ia memiliki putra Arya Danurwenda. Antareja menjadi raja di negara Jangkarbumi dengan memiliki gelar Prabu Naga Baginda.
KEMATIAN ANTAREJA
Antareja meninggal menjelang perang Baratayuda. Kisahnya, prabu Kresna didasari alasan tertentu berusaha untuk menghentikan jalan hidup Antareja. Sebenarnya antareja sendiri lebih sakti jika dibandingkan dengan prabu Kresna.
Akan tetapi, para dewa sudah sepakat dengan prabu Kresna. Sehingga prabu Kresna menipu Antareja dengan memerintahkan nya menjilat telapak kakinya sendiri untuk tumbal keluarga Pandawa di dalam perang Baratayuda.
Antareja percaya dengan perintah tersebut lalu menurutinya, sehingga dia langsung tewas seketika. Sebenarnya kematian Antareja memang telah disengaja oleh para pujangga Jawa. Jal ini karena dalam Kakawin Bharatayudha maupun Kakawin Mahabharata tidak ada tokoh yang bernama Antareja.

Friday, July 17, 2020

Mengenal Tokoh Punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong


Dalam seni pewayangan di Indonesia ada banyak sekali kisah yang disajikan. Para penikmat seni wayang pasti tidak asing dengan kisah-kisah yang diambil dari karya sartra kuno, mulai dari Ramayanan sampai Mahabarata. dalam setiap pagelaran wayang pasti juga ada pesan yang hendak disampaikan oleh seorang dalang. Begitu juga dengan empat tokoh pewayangan yang dikemas menjadi punakawan.
Kata punakawan berasal dari kata pana yang artinya paham, dan kawan yang artinya teman. Jika mencari tokoh Punakawan di naskah Mahabharata dan Ramayana, jangan heran jika tokoh Punakawan tidak ada di sana. Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa. Menurut Slamet Muljana, seorang sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
Empat tokoh punakawan terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Para Punakawan ditampilkan sebagai kelompok penceria dengan humor-humor khasnya untuk mencairkan suasana. Selain itu, Punakawan juga memiliki karakter masing-masing yang tentunya patut untuk diselami lebih dalam.

SEMAR

Salah satu tokoh yang selalu ada di Punakawan ini, dikisahkan sebagai abdi tokoh utama cerita Sahadewa dari keluarga Pandawa. Bukan hanya sebagai abdi, namun Semar juga kerap kali memberikan nasihat-nasihat bijaksananya untuk keluarga Pandawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan bijaksana. Kepala dan pandangan Semar menghadap ke atas, menggambarkan kehidupan manusia agar selalu mengingat Sang Kuasa. Kain yang dipakai sebagai baju oleh Semar, yakni kain Semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Di kalangan spiritual Jawa, Semar dianggap sebagai symbol ke-Esaan.

GARENG

Dalam cerita pewayangan Jawa, diceritakan Nala Gareng adalah anak Gandarwa (sebangsa jin) yang diangkat anak oleh Semar. Pancalparnor adalah nama lain Gareng yang artinya menolak godaan duniawi. Gareng memiliki kaki pincang, hal ini mengajarkan agar selalu barhati hati dalam bertindak. Dalam suatu cerita, Gareng dulunya adalah seorang raja, namun karena ia sombong, ia menantang setiap ksatria yang ia temui dan dalam suatu pertarungan, mereka seimbang.
Tidak ada yang menang maupun kalah, namun dari pertarungan itu. Wajah Gareng yang awalnya rupawan menjadi buruk rupa. Gareng memiliki perawakan yang pendek dan selalu menunduk, hal ini menandakan kehati-hatian, meskipun sudah makmur, tetapi harus tetap waspada. Matanya juling yang menandakan ia tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan. Tangannya melengkung, hal ini menggambarkan untuk tidak merampas hak orang lain.

Petruk

Petruk digambarkan sebagai sosok yang gemar bercanda, baik melalui ucapan ataupun tingkah laku. Ia adalah anak ke dua yang diangkat oleh Semar. Nama lainnya yakni Kanthong Bolong, yang artinya suka berdema. Sebagai punakawan, ia adalah sosok yang bisa mengasuh, merahasiakan masalah, pendengar yang baik, dan selalu membawa manfaat bagi orang lain.
Dalam suatu cerita, saat pembangunan candi Sapta Arga, kerajaan ditinggalkan dalam keadaan kosong. Kemudian jimat Kalimasada milik pandawa pun hilang. Jimat itu dicuri oleh Mustakaweni. Mengetahui hal itu, Bambang Irawan – anak Arjuna – bersama Petruk berusaha merebut jimat tersebut. Akhirnya jimat itu berhasil direbut oleh Bambang Irawan dan dititipkan kepada Petruk. Namun sayangnya Petruk menghilangkan jimat tersebut. Untungnya jimat itu dapat ditemukan kembali, kemudian ia meminta maaf pada Pandawa. Melalui kisah itu, Petruk ingin mengingatkan untuk memperhitungkan setiap tata kelakuan dan tidak mudah percaya kepada siapapun. Kemudian ia juga mengajarkan untuk berani mengakui kesalahan.

BAGONG




Bagong adalah anak ke tiga yang diangkat oleh Semar. Diceritakan, Bagong adalah manusia yang muncul dari bayangan. Suatu ketika, Gareng dan Petruk minta dicarika teman oleh Semar, kemudian Sang Hyang Tunggal berkata “Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri” seketika, sosok Bagong muncul dari bayangan.
Sosok Bagong digambarkan berbadan pendek, gemuk, tetapi mata dan mulutnya lebar, yang menggambarkan sifatnya yang lancang namun jujur dan sakti. Ia kerap kali melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Dari sikap Baagong yang tergesa-gesa itu, justru mengajarkan untuk selalu memperhitungkan apa yang hendak dilakukan, agar tidak seperti Bagong. Tokoh pewayangan satu ini juga mengingatkan bahwa manusia di dunia memiliki berbagai watak dan perilaku. Tidak semuanya baik, sehingga setiap orang harus bisa memahami watak orang lain, toleran, dan bermasyarakat dengan baik.

SEMAR : Sejarah, Sifat dan Karakteristik - miniatur wayang

SEMAR

Punakawan berasal dari kata Pana yang artinya paham, dan kata kawan yang berarti teman. Tokoh wayang yang terdiri dari 4 sosok yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ini memang menjadi sajian yang dinanti dalam berbagai pertunjukan wayang semalam suntuk. Pasalnya,kisah tokoh Punakawan terbilang lucu dan memiliki pesan tersendiri. Lalu, seperti apa karakter tokoh Punakawan tersebut?

DOWNLOAD VIA GOOGLE DRIVE

Sifat Perwatakan Tokoh Semar
Kalau dalam istilah Jawa-nya, Semar ini sifatnya ‘Nyegara’ yang artinya hatinya seluas samudera. Di mana ia dipercaya kapraman dan kewaskitaan-nya sedalam samudera. Tak heran, jika hanya ksatria sejati saja yang bisa menjadi asuhan Semar.

Jika dilihat dari karakter fisiknya, Semar memiliki karakter fisik yang cukup unik. Tapi, keunikan fisik inilah yang dijadikan simbol dari kehidupan ini oleh masyarakat Jawa.

Semar memiliki bentuk tubuh bulat yang mana mengibaratkan bahwa bumi ini bulat. Raut wajah yang selalu tersenyum juga mata yang sembab mengeluarkan air mata ini merupakan simbol antara suka dan duka yang selalu ada dalam kehidupan kita.

Religius
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut sebagai Badranaya yang merupakan dua istilah di antaranya Bebadra yang artinya membangun sarana dari awal, dan Naya yang artinya Utusan mangrasul. Jika diartikan secara sederhana, membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia di muka bumi.


Semar

Semar sendiri juga memiliki istilah lain yaitu Haseming samar-samar yang artinya makna kehidupan Sang Penuntun. Semar bukan laki-laki, bukan juga perempuan. Tangan kanannya ke atas yang bermakna sang Maha Tunggal, dan tangan kirinya ke belakang yang bermakna berserah pada-Nya.
Siapa Semar Sebenarnya
Siapa yang tak kenal Semar? Setidaknya kebanyakan orang tahu Semar adalah pimpinan empat sekawan ‘Punakawan’. Sepintas memang tokoh Semar sebatas melucu dan pereda ketegangan penonton di tengah malam. Namun, menurut Sobirin bahwa dulu Sang Hyang Wenang menciptakan Hantigo berupa telur. Cangkangnya itu Togog, sedang putihnya menjadi Semar. Sedangkan kuningnya menjadi Batara Guru.

Semar yang memiliki badan gemuk tak jelas laki-laki atau perempuan. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan masing-masing memiliki ciri khas. Kesempurnaan hanya milik Tuhan.

Umumnya, masyarakat mengenal bahwa Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa yang mana memiliki anugerah Mustika Manik Astagina dan delapan daya. Delapan daya itu adalah tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah kepanasan, dan tak tak pernah kedinginan.

Sejarah Eyang Semar
Menurut pendapat seorang sejarawan, Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar ini pertama kali ditemukan di dalam karya sastra pada zaman kerajaan Majapahit yang berjudul Sudamala. Karya sastra tersebut dalam bentuk kakawin juga dipahat dalam bentuk relief di Candi Sukuh yang dibuat tahun 1439.

Tokoh Semar ini merupakan hamba atau abdi tokoh utama dalam kisah Sahadewa yang merupakan sosok dari keluarga Pandawa. Tentunya, Semar bukan hanya sebagai pengikut semata, melainkan juga sebagai penghibur lara dalam mencairkan suasana yang tegang.

Di zaman berikutnya, saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun mulai digunakan sebagai media dakwah. Salah satunya adalah kisah Mahabarata yang mana kisah tersebut sudah melekat di benak masyarakat Jawa. Salah satu Ulama yang menggunakan wayang sebagai media dakhwa adalah Sunan Kalijaga. Di dalam dakwahnya, Semar masih tetap ada, bahkan lebih dominan dibandingkan dengan kisah Sudamala.

Kemudian, di era selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat, di mana para Pujangga Jawa mulai mengkisahkan Semar bukan sebagai rakyat jelata saja, melainkan juga sebagai jelmaan Batara Ismaya yang merupakan kakanya Batara Guru alias rajanya para dewa.

Banyak sekali versi yang menkisahkan asal usul Semar. Namun sebagian besar mengatakan bahwa Semar adalah jelmaan Dewa.

Seperti yang ditulis dalam naskah Serat Kanda yang mengkisahkan penguasa kahyangan adlah Sang Hyang Nurrasa dan memiliki dua putra yang bernama Sanghyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, maka tahta kahyangan pun diturunkan ke Sang Hyang Wenang. Kemudian, tahta diwariskan lagi ke putranya yang bernama Batara Guru, hingga Sang Hyang Tunggal pun menjadi pengasuh para ksatria turunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Siapa yang tak kenal dengan Semar? Tokoh yang selalu muncul di setiap kisah pewayangan, apapun judulnya dan apapun kondisinya. Dia selalu ada. Lalu siapa semar sebenarnya? Di kalangan masyarakat Jawa, ternyata tokoh wayang Semar bukan hanya sebagai fakta historis saja, melainkan lebih ke simbolis dan mitologis tentang ke-Esa-an. Di mana merupakan simbol dari pengejawantahan ekspresi, pengertian, dan persepsi tentang ke-Tuhan-an dan lebih ke konsep spiritual.

Bisa dikatakan bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah merupakan masyarakat yang religius dan ke-Tuhan-an yang Maha Esa.

Filosofi Kata Bijak Ki Semar
Di setiap pementasan wayang, Semar selalu menyampaikan kata-kata bijaknya yang sifatnya lebi hke umum. Sehingga kata-kata bijak Semar masih relevan dengan siapapun dan kapanpun. Berikut ini adalah beberapa kata bijak Semar.

Urip iku Urup
Yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah Hidup itu Menghidupi. Hidup itu harus bisa memberikan manfaat pada semua orang di sekitar kita. Di sinilah kenapa hidup itu menghidupi. Agar hidup kita lebih bermakna, maka kita harus bermanfaat bagi setiap orang di sekitar kita.

Sura Dira Jaya Jayaningrat, Leburing Dening Pangastuti
Jika di-Indonesiakan, maka artinya semua sifat picik, keras hati, dan angkara murka di dalam diri kita hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijaksana, sabar, dan lembut hati. Ibarat api tidak bisa dipadamkan dengan api. Perlu air untuk memadamkannya. Begitu juga dengan sifat jelek kita, harus kita redam dengan sifat baik kita, yaitu dengan kebijaksanaan, rendah hati, dan sabar.

Datan Sering Lamun Ketaman, Datang Susah Lamun Kelangan
Kata bijak Semar yang satu ini memiliki makna, bahwa jangan bersedih saat mengalami musibah yang menimpa kita, juga jangan sedih jika kita sedang kehilangan sesuatu. Karena semua akan kembali kepada-Nya. Inilah hakikat hidup.
Itulah beberapa kata bijak dari Semar yang sering dilontarkan saat pementasan wayang di malam hari. Biasanya saat penutupan, kata-kata itu terlontar sebagai makna kehidupan dan acuan kita menjalani hidup yang haqiqi.

Kesaktian Semar: Senjata Kentut
Kesaktian Semar Mesem Menurut Islam Yang SebenarnyaMeskipun Semar hanya rakyat biasa dan menjadi Punakawan para ksatria dan raja, tapi Semar memiliki kesaktian yang melebihi kemampuan Batara Guru, rajanya para dewa. Di mana Semar selalu bisa mengatasi kesaktian Batara Guru yang selalu mengganggu Pandawa Lima saat dalam asuhan Semar.

Ada lagi senjata yang paling ampuh yang dimiliki Semar, yaitu ‘kentut’. Kentut berasal dari dalam diri Semar itu sendiri, sehingga senjata ini bersifat dari pribadi Semar dan bukan alat yang dibuat oleh manusia. Senjata ini pun bukan untuk membunuh, melainkan untuk menyadarkan.

Dalam satu kisahnya, Semar menggunakan senjata ‘kentut’ saat melawan resi yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima. Di mana ujungnya tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, melainkan semuanya sadar kembali dalam perwujudan semula. Semar sendiri menggunakan senjata ‘kentut’ ini ketika ia sudah tidak bisa mengatasi masalah dengan senjata lain.

Thursday, July 16, 2020

Wisanggeni

WISANGGENI
Wisanggeni
Bambang Wisanggeni merupakan nama seorang tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata, karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa. Ia dikenal sebagai putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Batari Dresanala, putri Batara Brama. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.

Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Batari Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para dewa.
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brama menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brama yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak dijadikan Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brama pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.
Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brama membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.

Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna "racun api". Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, sang dewa penguasa api. Selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni.
Atas petunjuk Narada, Wisanggeni pun membuat kekacauan di kahyangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkannya, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, leluhur Batara Guru. Batara Guru dan Batara Brama akhirnya bertobat dan mengaku salah. Narada akhirnya bersedia kembali bertugas di kahyangan.
Wisanggeni kemudian datang ke Kerajaan Amarta meminta kepada Arjuna supaya diakui sebagai anak. Semula Arjuna menolak karena tidak percaya begitu saja. Terjadi perang tanding di mana Wisanggeni dapat mengalahkan Arjuna dan para Pandawa lainnya.
Setelah Wisanggeni menceritakan kejadian yang sebenarnya, Arjuna pun berangkat menuju Kerajaan Tunggulmalaya, tempat tinggal Dewasrani. Melalui pertempuran seru, ia berhasil merebut Dresanala kembali.
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan basa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.
Kesaktian Wisanggeni dikisahkan melebihi putra-putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja, Gatutkaca, ataupun Abimanyu. Sepupunya yang setara kesaktiannya hanya Antasena saja. Namun bedanya, Antasena bersifat polos dan lugu, sedangkan Wisanggeni cerdik dan penuh akal.
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.

Tuesday, July 14, 2020

Koleksi Pola Miniatur Wayang Bagian ke satu

Wayang kulit adalah Seni Tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.
Wayang berasal dari kata "Ma Hyang" yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa.
Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna "bayangan", hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.

Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). .

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003

Pola Gambar Wayang untuk miniatur

Drupadi         Download Via Google Drive
Yudistira        Download via Google Drive
Bimasena       Download Via Google Drive
Arjuna           Download Via Google Drive
Nakula dan Sadewa    Download Via Google Drive

untuk cara pembuatannya silahkan tonton video di bawah

Setyaki

Satyaki atau Yuyudhana adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia berasal dari Warsneya, salah satu  bangsa Yadawa, yang memihak para Pandawa dalam perang Baratayuda. Ia merupakan salah satu sekutu Pandawa—selain Kresna dan Yuyutsu—yang masih hidup setelah perang berakhir.
Di Dalam pewayangan Jawa, Satyaki merupakan sepupu Kresna dan Pandawa. Ia berasal dari Kerajaan Lesanpura yang tinggal di Kasatriyan Swalabumi.
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa Satyaki adalah seorang kesatria Yadawa, putra Satyaka. Kakeknya ialah Sini, seorang pemuka keluarga Wresni (Warsneya). Sini melamar Dewaki sebagai istri Basudewa. Dalam peristiwa itu ia harus bersaing dengan Somadata, keturunan Bahlika dari Hastinapura.

Menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra Satyajit, Raja Lesanpura, dengan Warsini. Ia memiliki adik perempuan bernama Satyaboma (Satyabama). Satyajit merupakan adik termuda Basudewa dan Kunti. Dengan kata lain, Satyaki adalah adik sepupu Kresna dan para Pandawa. Di samping itu, Satyajit merupakan nama lain dari Ugrasena.
Menurut Mahabharata, Satyajit dan Ugrasena adalah dua orang tokoh yang berbeda. Satyajit merupakan panglima Kerajaan Pancala, sedangkan Ugrasena adalah raja bangsa Yadawa di Mathura. Di samping itu, ayah Satyabama bernama Satrajit, sedangkan adik Kunti bernama Purujit.
Pewayangan Jawa menggabungkan tokoh Ugrasena, Satyajit, Satrajit, dan Purujit menjadi satu tokoh saja, yaitu Satyajit dari Lesanpura. Sementara itu, tokoh Satyaka dalam pewayangan Jawa bukanlah ayah Satyaki, melainkan nama putra Satyaboma. Dengan kata lain, Satyaka versi Jawa adalah keponakan Satyaki.

Versi pewayangan Jawa mengisahkan ketika Warsini mengandung, ia mengidam ingin bertamasya menunggang macan putih. Satyajit mendatangkan para keponakannya, yaitu Kresna, Baladewa dan para Pandawa untuk ikut membantu. Ternyata yang berhasil menangkap macan putih idaman Warsini adalah Kresna. Namun, macan putih tersebut penjelmaan Singamulangjaya, patih Kerajaan Swalabumi yang diutus rajanya, yaitu Prabu Satyasa untuk menculik Warsini. Singamulangjaya segera membawa Warsini kabur begitu naik ke punggungnya.
Kresna yang dicurigai Satyajit segera mengejar Singamulangjaya. Di tengah jalan, Singamulangjaya mencoba mengeluarkan isi kandungan Warsini. Lahirlah seorang bayi yang bukannya mati, tetapi justru bertambah besar setelah dihajar Singamulangjaya. Akhirnya, bayi tersebut berubah menjadi pemuda dan membunuh Singamulangjaya. Arwah Singamulangjaya bersatu ke dalam diri pemuda itu.

Warsini memberi nama putranya yang sudah dewasa dalam waktu singkat itu dengan nama Satyaki. Kresna pun menemukan mereka berdua. Bersama mereka menyerang dan membunuh Satyasa sebagai sumber masalah. Satyaki kemudian menduduki Kerajaan Swalabumi sebagai daerah kekuasaannya.
Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Satyaboma (Satyabama) dilamar oleh Drona dengan dukungan para Korawa. Tujuan lamaran ini hanya sekadar untuk menjadikan Kerajaan Lesanpura sebagai sekutu Kerajaan Hastina. Satyaki segera mengumumkan sayembara bahwa jika ingin menikahi kakaknya harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu.
Satu per satu para Korawa maju namun tidak ada yang mampu mengalahkan Satyaki. Bahkan, Drona sekalipun dikalahkannya. Arjuna selaku murid Drona maju atas nama gurunya. Satyaki yang gentar meminta bantuan Kresna. Maka, Kresna pun meminjamkan Kembang Wijayakusuma kepada Satyaki.
Dengan berbekal bunga pusaka milik Kresna, Satyaki dapat menahan serangan Arjuna, bahkan berhasil mengalahkan Pandawa nomor tiga tersebut. Ternyata Kresna juga melamar Satyaboma untuk dirinya sendiri. Dalam pertarungan adu kesaktian, Kresna berhasil mengalahkan Satyaki dan mempersunting Satyaboma. Dari perkawinan antara Kresna dan Satyaboma lahir seorang putra bernama Satyaka.
Menurut versi Mahabharata Satyaki memiliki sepuluh orang putra yang semuanya mati di tangan Burisrawa dalam perang Baratayuda. Sementara itu, menurut versi Jawa, Satyaki hanya memiliki seorang putra saja bernama Sangasanga yang tetap hidup sampai perang berakhir. Sangasanga kemudian menjadi raja Kerajaan Lesanpura sepeninggal Satyajit dan Satyaki. Meskipun demikian, ia tetap mengabdi sebagai panglima Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit cucu Arjuna. Sangasanga merupakan putra Satyaki dari perkawinannya dengan Trirasa.
Dalam perang Baratayuda yang meletus di Kuruksetra, Satyaki memihak para Pandawa. Ia bahkan dipercaya memimpin salah satu di antara tujuh aksohini pasukan Pandawa.
Peran Satyaki tampak menonjol pada hari ke-14, ketika ia ditugasi Arjuna untuk menjaga Yudistira dari serangan Drona. Menurut versi Mahabharata, Arjuna merupakan guru Satyaki dalam ilmu memanah. Sementara itu menurut versi Jawa, murid Arjuna adalah Srikandi yang kemudian menjadi istrinya. Pada hari tersebut Arjuna bergerak mencari Jayadrata yang telah menyebabkan putranya, yaitu Abimanyu tewas. Satyaki sendiri mati-matian melindungi Yudistira yang hendak ditangkap hidup-hidup oleh Drona sebagai sandera. Drona adalah guru Arjuna, sedangkan Satyaki adalah murid Arjuna. Namun, dalam pertempuran itu Drona memuji kesaktian Satyaki setara dengan Parasurama, yaitu guru Drona sendiri.
Setelah keadaan aman, Yudistira memaksa Satyaki pergi membantu Arjuna. Dalam keadaan letih, Satyaki menerobos barisan sekutu Korawa yang menghadangnya. Tidak terhitung jumlahnya yang mati. Namun ia sendiri bertambah letih. Burisrawa maju menghadang Satyaki. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan Burisrawa. Dengan pedang di tangan ia siap membunuh Satyaki yang sudah jatuh pingsan. Adapun Burisrawa merupakan putra Somadatta yang dulu dikalahkan Sini kakek Satyaki sewaktu melamar Dewaki.
Arjuna yang mengendarai kereta dengan Kresna sebagai kusir sudah mendekati tempat persembunyian Jayadrata. Kresna memintanya untuk berbalik membantu Satyaki. Mula-mula Arjuna menolak karena hal itu melanggar peraturan. Namun, Kresna berhasil meyakinkan Arjuna bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk menolong Satyaki yang sudah bersusah payah datang membantunya. Arjuna akhirnya memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa terkejut dan menuduh Arjuna berbuat curang. Arjuna membantah karena Burisrawa sendiri hendak membunuh Satyaki yang sudah pingsan serta ikut serta mengeroyok Abimanyu. Burisrawa sadar atas kesalahannya. Ia pun duduk bermeditasi. Tiba-tiba Satyaki sadar dari pingsan dan langsung memungut potongan lengan Burisrawa yang masih memegang pedang. Dengan menggunakan pedang itu ia membunuh Burisrawa.
Menurut versi Kakawin Bharatayuddha, Satyaki membunuh Burisrawa menggunakan pedang Mangekabhama, menurut versi Serat Bratayuda menggunakan panah Nagabanda, sedangkan menurut versi pewayangan menggunakan gada Wesikuning.

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...