CAKIL, tokoh raksasa dalam dunia pewayangan, khususnya pada Wayang Purwa. Meskipun Cakil bukan termasuk raksasa yang berukuran tubuh besar, bentuk penampilannya mudah dikenali. Rahang bawahnya menonjol panjang ke depan dengan satu gigi bawah mencuat panjang ke atas. Matanya selalu mengeriyip, agak memicing.
Selain itu warna suaranya juga khas, seperti suara orang tercekik, nadanya tinggi, berbeda dengan suara raksasa pada umumnya yang bernada rendah dan lantang. Hampir dalam setiap lakon ia muncul sebagai ‘komandan’ pasukan raksasa yang bertugas menjaga atau tapal batas kerajaan tertentu, Namun, dalam beberapa lakon tertentu Cakil juga tampil dengan peran menonjol.
Cakil muncul dalam lakon-lakon wayang dengan berbagai nama, antara lain Ditya Kala Gendir Penjalin, Ditya Kala Carang Aking, Kala Klantang Mimis. Ki Dalang kadang-kadang bahkan menciptakan nama baru bagi tokoh ini. Ia merupakan satu-satunya raksasa yang bersenjata keris, bukan satu tetapi dua, kadang-kadang tiga, tetapi selalu mati tertusuk kerisnya sendiri.
Tokoh peraga wayang Cakil oleh kebanyak dalang Wayang Kulit Purwa juga digunakan sebagai wayang srambahan untuk memerankan tokoh Kala Marica, anak buah Prabu Dasamuka dalam peristiwa penculikan Dewi Sinta pada seri Ramayana. Namun, pada perangkat Wayang Kulit Purwa yang lengkap, diciptakan tokoh peraga Wayang Kulit untuk peran Kala Marica. Bentuknya serupa sekali Cakil, tetapi rambutnya terurai, tidak digelung.
Perang antara Cakil dengan tokoh ksatria Bambangan disebut perang kembang, atau perang begal, hampir selalu muncul pada setiap lakon wayang. Perang itu ditampilkan baik pada pergelarang Wayang Kulit Purwa maupun pertunjukan Wayang Orang.
Refersensi lain
Kita tidak lagi asing terhadap sastra kuno Mahabrata yang selama ini kita ketahui berasal dari India. Namun, tidak seluruhnya cerita memiliki alur dan kisah yang sama jika dibandingkan dengan cerita adaptasi Indonesia.
Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Selain itu, versi Indonesia juga memiliki wayang kulit yang berasal dari Jawa maupun Bali sebagai media penghantar pengkisahan yang dilakukan oleh para dalang. Kisah asal-mula beberapa karakter tentunya memiliki beberapa perbedaan contohnya; dalam versi India, Gandari sangat menyayangi Pandawa meskipun beliau bukan anaknya. Sebaliknya dalam versi Indonesia, Gandari sangat membenci Pandawa.
Adapun karakter yang tidak dapat ditemukan dalam versi India seperti Buto Cakil. Karakter Buto Cakil ataupun yang sangat dikenal dengan sebutan Cakil ini merupakan 100% inovasi Jawa. Julukannya biasa dipanggil Gendir Penjalin dan memiliki wujud raksasa dengan ciri fisik rahang bawah yang maju ke depan. Tak heran beberapa komunitas motor terkadang menyebut helm serupa cakil karena sangat mirip dengan bentuk fisik tokoh tersebut. Meskipun berbentuk raksasa dan termasuk antagonis, Buto Cakil merupakan karakter yang mudah disukai. Buto Cakil tidak garang ganas pemarah seperti raksasa biasanya, justru ia suka bergurau dan suka bersenang-senang. Meskipun ia sangat humoristis, Buto Cakil merupukan tokoh yang pantang menyerah dan kukuh memegang kepecayaannya dan selalu berjuang sampai akhir hingga titik darah penghabisan.
Cakil bukanlah seorang yang tangguh. Ia sangat pasif dan tidak suka cari perkara dengan raksasa lain ataupun satria yang terlihat sangat kuat dan megah. Oleh sebab itu, ia sukanya mencegat ksatria kerempeng berpembawaan halus, atau ksatria muda lembut yang sekiranya mudah untuk dikalahkan. Itulah sebabnya, dalam Perang Kembang, Cakil selalu dipertemukan dengan Arjuna. Dalam setiap penampilan Buto Cakil yang dipaparkan, dia selalu bertempur dengan Arjuna yang baru turun keluar dari pertapaan di pelosok. Arjuna versi Jawa, sosoknya bertubuh langsing, halus gerak geriknya, dan saat keluar dari pertapaan, tidak menyandang pakaian kebesaran ksatria, tapi berpenampilan apa adanya. Pada kisah lain, Buto Cakil bertempur dengan Bambangan, ksatria muda yang baru keluar dari padepokan. Biasanya adalah putra Arjuna yang dalam setiap kegiatan blusukannya tak lupa menikahi perawan desa putra pertapa. Bisa dikatakan bahwa Cakil merupakan seorang yang pengecut atau orang yang sangat berjaga-jaga dalam memilih lawan. Bagaimanapun juga, Cakil dikenal selalu mati oleh tangannya sendiri. Di cerita Perang Kembang, ia tertusuk oleh kerisnya. Cakil mengajarkan kita bahwa orang yang berperilaku buruk di masa lalu dapat mendatangkan musibah bagi diri sendiri.
Tidak ada yang yakin pasti darimanakah Buto Cakil benar-benar berasal.
Siapakah orang tua Cakil sebenarnya? Apakah dia seorang yatim-piatu yang kemudian diangkat oleh para raksasa? Sebagian besar orang mengatakan bahwa Cakil adalah sisi lain Arjuna. Kita tahu bahwa Arjuna terkenal dengan kebaikan dan kelemahlembutannya. Namun, ia juga terkenal dangan julukan Danasmara (perayu ulung) dan Janaka (memiliki banyak istri). Layaknya satria pemadi dan pemberani, dapat dikatakan bahwa Arjuna lemah dalam mengendalikan hawa nafsu birahi. Arjuna pernah dikisahkan telah memperkosa Dewi Anggraeni yang telah menolak cintanya. Ditengah-tengah hutan ditinggalnya Dewi Anggreni dalam keadaan hamil membuat hidup sang dewi sangat menderita dan diliputi kebencian serta dendam yang sangat mendalam pada Arjuna. Setelah berhasil melahirkan bayinya, Dewi Anggraeni meninggal dunia. Bayi yang dilahirkannya berwujud raksasa sebagai lambang nafsu bejat Arjuna dan dendam sang Dewi. Kelak kemudian hari bayi inilah yang dipanggil Cakil, anak hasil pemerkosaan Arjuna pada Dewi Anggraeni.
Jadi, bagaimana pendapat anda jika mendengar kisah tersembunyi tersebut? Apakah Arjuna perlu dihukum atas perlakuannya? Haruskah Buto Cakil mendapatkan balas dendam kepada Arjuna? Apa ini sebabnya mereka selalu dipertemukan? Pertemuan dan kisah antara Arjuna dan Cakil akan selalu menjadi hal yang lebih dari unik dalam kisah Mahabrata versi Jawa.