Tuesday, September 8, 2020

Kyai Pramugari

Kyai Pramugari adalah nama seekor kuda salah satu kuda penarik kereta ksatria Tajunganom atau Plangkawati, Raden Abimanyu. Konon, kuda ini memiliki insting yang kuat bagaikan naluri manusia.
Pada waktu itu yang menjadi senapati Kurawa adalah Resi Drona. Dengan kemahirannya menerapkan strategi perang, Resi Drona bisa memisahkan tiga benteng kekuatan Pandawa, yaitu Bima, Janaka dan Gatutkaca.

Bima dipancing untuk bertarung dengan Gardapati di sisi utara. Sedangkan Janaka harus berhadapan dengan Patiwresaya di kaki Gunung Setrapuru di sebelah selatan. Sedangkan Gatotkaca disibukkan dengan meladeni bala tentara Korawa yang mengeroyoknya.

Dengan demikian Resi Drona tinggal menghitung langkah saja untuk menawan Puntadewa di pesangrahan. Namun, tiba-tiba pasukan yang dipimpinya kocar-kacir. Ribuan anak panah bagaikan hujan jatuh dari langit. Senopati muda belia dengan gagah berani duduk di kereta.

Dialah Sang Abimanyu. Dengan kereta perang yang ditarik kuda-kuda pilihan. Salah satu kuda itu adalah Kyai Pramugari.

Melihat pasukan Korawa banyak menjadi kurban, Karna menyeruak ke depan. Karna termangu. Ia tidak tega membunuh kemenakannya, Sang Abimanyu yang masih sangat muda untuk maju ke medan laga. Untuk itu ia berusaha mengecilkan hati Sang Abimanyu dengan membunuh kusirnya, Bambang Sumitra.

Ternyata perkiraan Karna salah. Dengan tewasnya Bambang Sumitra, Sang Abimanyu tidak gentar. Sang Abimanyu segera menaiki kuda kesayangannya Kyai Pramugari. Kuda itu benar-benar mengerti kemauan tuannya. Kuda menerjang menggilas semua musuh yang menghalangi. Dengan begitu mudahlah Sang Abimanyu menebas leher musuh.

Lagi-lagi Karna tidak tega untuk memanah Sang Abimanyu. Kini, sasaran itu diarahkan kepada Kyai Pramugari. Terkena panah Karna, kuda kesayangan Sang Abimanyu itu roboh dan tidak bergerak lagi.

Sang Abimanyu bangkit. Ia bertekad untuk membalaskan matinya Kyai Pramugari. Maka tanpa pikir panjang dirinya menyeruak ke depan di mana ribuan pasukan pihak Korawa telah mengepungnya. Hujan senjata mengenai tubuh senopati muda belia itu.

Akan tetapi Sang Abimanyu tetap pantang mundur. Terus maju menyerang. Bahkan putera mahkota Astinapura, Leksmana Mandrakumara berhasil disirnakannya. Hingga tibalah saat naas itu. Senjata andalan Jayadrata gada Kyai Glinggang atau Galih Asem berhasil mengantarkan nyawanya ke nirwana.


Monday, August 31, 2020

Batara Ganesha - KELAHIRAN BATARA GANAPATI

Batara Ganesa terkadang ditulis Ganesya,disebut juga Batara Ganapati,atau Batara Gana,dianggap sebagai Dewa Pendidikan,Sastra,dan Penyebar Ilmu Pengetahuan.Ia adalah anak Batara Guru dari Dewi Umaranti,yang tinggal di kahyangan Glugutinatar.

Batara Ganesa lahir tidak dalam bentuk manusia,melainkan dalam ujud menyerupai gajah,lengkap dengan gading dan belalainya.Hal ini terjadi karena sesaat setelah Batara Guru dan Dewi Umaranti saling bercumbu kasih,para dewa datang menghadap.Di antara mereka yang datang menghadap adalah Batara Endra yang mengendarai Gajah Airawata.Gajah itu luar biasa besar,sehingga membuat takjub dan kaget Dewi Umaranti,yang saat itu lagi mengandung.Karena ketakjubannya itu,maka kemudian Dewi Umaranti melahirkan putera yang bentuk dan wajahnya mirip sekali dengan gajah.

Bayi gajah Ganesa ternyata juga memiliki kesaktian luar biasa.Ia dapat mengalahkan raja raksasa Nilarudraka dari kerajaan Glugutinatar,yang datang menyerbu kahyangan.Ketika itu raja raksasa gandarwa itu mengamuk karena lamarannya pada Dewi Gagarmayang ditolak.Setelah dikalahkan,Glugutinatar dijadikan kahyangannya.Dalam pewayangan,pada lakon Batara Brama Krama,Batara Ganesa pernah diruwat oleh Batara Brama sehingga ujudnya menjadi dewa yang tampan,tidak lagi berkepala gajah.Setelah ujudnya berubah,Batara Ganesa dikenal dengan sebutan Batara Mahadewa.Menurut Adiparwa,yaitu bagian pertama dari Mahabarata, Ganesa juga berjasa menjadi juru tulis Empu Wyasa yang mengarang kitab Mahabarata itu.Nama lain Batara Ganesa adalah Ganapati,Lambakarna,Gajanana,Karimuka dan Gajawadana. 

KELAHIRAN BATARA GANAPATI

Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung pula. Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan musuh dari Kerajaan Glugutinatar.

Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana ia berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu Nilarudraka bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersama-sama menyerbu Kahyangan Jonggringsalaka.

Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para dewa akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih Senarudraka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada.

Batara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah yang dikendarai Batara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah Erawata yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada di dalam rahimnya ikut berontak.

Melihat keadaan yang tidak baik itu, Batara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi berwujud aneh inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang.

Batara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Batara Ganapati atau Batara Ganesa.

Monday, August 24, 2020

Limbuk dalam pewayangan jawa

Limbuk tergolong abdi wanita yang berparas jelek, namun genit. Oleh karenanya berkali-kali Limbuk batal dilamar. Sebagian orang menganggap bahwa Limbuk adalah anak Cangik. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa hubungan Limbuk dan Cangik adalah hubungan teman sekerja.

Lepas dari itu semua Limbuk dan Cangik merupakan pasangan yang populer dan digemari orang banyak. Saking populernya hingga ada adegan khusus yang dinamakan Limbukan. Dalam adegan ini, tokoh Limbuk dan Cangik dijadikan sarana untuk memberi informasi, pencerahan dan sekaligus hiburan.

Kedua abdi tersebut saling melengkapi. Mereka sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangiklah yang sering diajak berembug untuk memecahkan masalah serta mencari solusi. Sementara itu jika bendara putrinya berduka, Limbuk tampil menghibur dengan bernyanyi dan menari.

Selain badannya yang gemuk ?pating pecotot,? Limbuk mempunyai ciri fisik yang lain, yaitu: dahinya lebar, matanya pecicilan, hidung sunthi, rambutnya selalu digelung kecil dan memakai kesemekan serta jarit
Banyak orang beranggapan bahwa pasangan Limbuk Cangik bukanlah abdi biasa, mereka merupakan abdi kesayangan, yang berfungsi ganda sesuai dengan kebutuhan bendara putrinya. Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Limbuk dan Cangik selain sebagai abdi yang melayani, juga sebagai orang tua yang memberi solusi dan sekaligus berperan sebagai sahabat yang penghibur, termasuk menghibur masyarakat luas.

Cangik dalam pewayangan jawa

Cangik atau Cangéh adalah tokoh pewayangan Jawa, yang diceritakan sebagai seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi.

Diantara abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok ke depan, dalam bahasa Jawa disebut ?Nyangik.? Oleh karena ciri fisik inilah, ia kemudian dikenal dengan nama Cangik. Nama ?paraban? ini lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua.

Selain dagunya yang nyangik, ciri fisik lainnya adalah: dahinya nonong, matanya pecicilan, hidung sunthi, badannya kurus, rambutnya selalu digelung tekuk, kebiasaannya mengenakan ?kesemekan? dan memakai jarit motif kawung.

Cangik tergolong abdi yang serba bisa, setia, sabar, periang dan berwawasan luas. Ia sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangik bisa diajak berembug untuk mencari solusi. Ketika bendara putrinya berduka, Cangik tampil bernyanyi dan menari untuk menghiburnya.

Banyak orang beranggapan bahwa Cangik bukanlah abdi biasa, ia dapat berperan ganda sesuai dengan kebutuahan bendara putrinya. Bahkan bagi si bendara putri, Cangik dapat dijadikan pengganti orang tuanya dalam hal nasihat-nasihat yang dibutuhkan.

Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Cangik sebagai juru penerang dan sekaligus juru penghibur kepada bendaranya dan juga kepada masyarakat luas.

Sunday, August 23, 2020

Cerita wayang gugurnya Prabu Salya

Sebelum Bharatayudha pecah, tepatnya saat Kresna menjadi duta Pandawa ke Hastina untuk menawarkan jalan perdamaian, Prabu Salya memberi isyarat kepada Kresna. 

Kresna menghampiri Prabu Salya, kemudian mereka bercakap-cakap di beranda kerajaan Astina.
Saat itu Salya berkata kepada Kresna bahwa jika Bharatayudha memang benar-benar terjadi, ia ingin menitipkan suatu hal, yaitu Nakula dan Sadewa yang tak lain adalah keponakannya, putera Dewi Madrim adiknya. Mendengar permintaan Salya, Kresna pun menyanggupinya.

Bharatayudha memang benar benar terjadi. Prabu Salya dijebak oleh para Korawa sehingga dengan terpaksa ia berada di pihak Korawa. Meskipun ia berada di pihak Korawa namun sebenarnya Prabu Salya memihak kepada Pandawa. Oleh karena itu saat ia menjadi kusir kereta perang Adipati Karna, yang tak lain adalah menantunya sendiri, ia memiliki kesempatan untuk membantu Pendawa.

Saat Adipati Karna berhadapan dengan Arjuna dan siap melepas panahnya, Prabu Salya menghentakkan kakinya hingga kereta amblas masuk ke dalam lumpur. Panah yang dilepaskan Karna pun meleset dan hanya mengenai mahkota Arjuna. Disuruhnya Adipati Karna untuk memperbaiki roda kereta yang masuk ke dalam lumpur. Saat itulah Arjuna menggunakan kesempatan untuk melepaskan panah Pasopatinya, yang kemudian melesat dan memenggal kepala Adipati Karna.

Setelah kematian Adipati Karna, Prabu Salya kembali ke Mandaraka. Ia tahu bahwa setelah Karna gugur, ia yang akan diangkat menjadi senopati perang Korawa.

Sementara Prabu Kresna, penasihat Pandawa tanggap bahwa Prabu Salya bukanlah musuh yang enteng. Saat itu ia teringat akan pembicaraannya dengan Prabu Salya saat ia menjadi duta Pandawa ke Astina.

Dipanggilah Nakula dan Sadewa, disuruhlah si kembar memakai baju putih dari kain kafan kemudian ke Mandaraka untuk menghadap paman mereka yaitu Prabu Salya. Kresna berpesan kepada Nakula dan Sadewa, agar mereka segera minta mati ketika mereka sampai di depan Prabu Salya.

Nakula dan Sadewa tahu bahwa mereka dikorbankan oleh Kresna, namun mereka tetap menjalankan perintah Kresna, meskipun mereka sebenarnya sangat sayang kepada pamannya Salya.

Sesampainya di Mandaraka, Nakula dan Sadewa segera bersujud di kaki pamannya. Sesuai dengan pesan Kresna, mereka menangis dan minta mati. Salya tentu saja kaget dengan apa yang dikatakan oleh si kembar, keponakannya yang sangat ia sayangi.

Salya pun kemudian bertanya,
“ Siapa yang menyuruh kalin kemari keponakanku tersayang?”.
Nakula dan Sadewa menjawab, “
Tidak ada paman, kami datang kesini menghadap paman tidak disuruh siapa-siapa”.

Prabu Salya tersenyum saat mendengar jawaban keponakannya, ia pun lalu berkata, “ Kalian tidak bisa membohongiku, aku ini paman kalian, lebih banyak makan asam kehidupan daripada kalian, aku tahu kalian disuruh oleh Kresna bukan ?”


Nakula dan Sadewa tidak berani menjawab, mereka membisu.
Salya kemudian berkata kembali ,
” Apa yang kalian inginkan keponakanku?
Apa yang kalian inginkan dari pamanmu ini nak?”.
Nakula dan Sadewa dengan berat hati pun menjawab,”
Paman, daripada kami mati di Bharatayudha menghadapai paman, lebih baik sekarang kami minta mati di tangan paman”.

Salya tersenyum dan matanya berkaca-kaca, “ Anaku Nakula dan Sadewa, setiap aku melihat kalian, aku selalu teringat akan Madrim adikku yang telah wafat saat melahirkan kalian. Maka bagaimana aku tega membunuh kalian anaku? Katakan anakku, katakan, apa yang kalian inginkan, katakanlah…”

Nakula dan Sadewa tak dapat lagi menahan air matanya. Bagi mereka, Prabu Salya adalah satu-satunya keluarga yang masih tertingga. Ibu mereka madrim, wafat saat melahirkan mereka, sementara Pandu, ayah mereka meninggal beberapa saat kemudian karena kehabisan darah karena tertusuk keris Prabu Tremboko dari Pringgadani. Dan kini, haruskah mereka merelakan kematian paman mereka yang sangat sayang dan mengasihi mereka.Mereka pun saling terdiam dalam penuh keharuan.

Prabu Salya lalu berkata memecah keheningan, “ Anakku, segeralah kalian kembali. Katakan kepada Kresna, besok saat aku maju menjadi semopati perang Kurawa dalam Bharatayudha, agar Yudhistira yang menghadapi aku, dan sekarang segeralah kalian pulang”. Dengan berat hati dan sedih, Nakula dan Sadewa bersujud memeluk kaki pamannya yang sangat mereka sayangi.

Malam sebelum ia maju ke medan perang sebagai senopati perang Korawa, Salya bercengkerama dengan mesar bersama istrinya Pujawati. Malam itu pun Pujawati sudah menangkap kesan yang tidak biasa dari suaminya, namun salya tetap berusaha meyakinkan istrinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Saat pagi menjelang, Dewi Pujawati masih terlelap dalam tidurnya, Salya melihat wajah istrinya yang tetap cantik walau sudah berumur dan selalu setia mendampinginya. Sambil menyelimuti isteri yang sangat dicintainya, Prabu Salya berkata, “ Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat kecantikan wajahmu. istriku, maafkan aku, aku tidak mungkin memberiatahukan kepadamu akan kematianku”.Prabu Salya pun dengan baju perang berwarna putih, maju sebagai senopati perang Korawa ke medan Kurukhsetra.

Saat perang brathayuda Candrabirawa memakan korban banyak, Pandawa kewalahan menghadapi Prabu Salya. Saat itulah, Kresna meminta Yudhistira untuk maju menghadapi Prabu Salya. Pada awalnya Yudhistira menolak, karena ia sudah bertekad tidak akan maju ke medan perang dan tidak akan melukai siapapun. Mendengar jawaban itu, Kresna meminta Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa untuk bunuh diri saja. Maka dengan berat hati, Yudhistira pun maju berperang menghadapi Salya.

Dalam pewayangan, Prabu Salya Gugur oleh jimat Kalimosodo yang mengenai dadanya. Saat itu Resi Bagaspati masuk ke dalam tubuh Yudhistira, dan Candrabirawa dalam diri Salya diambil kembali oleh Resi Bagaspati sebagai pemiliknya. Pada saat itulah Yudhistira melempar jimat Kalimosodo yang tepat mengenai dada Prabu Salya.

Sementara di Mandaraka, Dewi Pujawati yang tidak melihat suaminya saat ia terbangun, menangis dan menyusul suaminya ke medan Kurukhsetra. sampai ketika hari sudah sore, dicarinya sang suami diantara ribuan mayat yang bergelimpangan. Betapa hancur hati Pujawati, saat ia menemukan mayat suaminya, diantara ribuan mayat itu. Saat itu juga, Dewi Pujawati menikamkan keris ke dadanya. Ia bela pati atas gugurnya sang suami tercinta. Bersama sukma Resi Bagaspati, dan Prabu Salya.

Saturday, August 22, 2020

Prabu Salya dalam Pewayangan Jawa

assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh
salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya  dan Salam Kebajikan

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madrim. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madrim menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata. Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Prabu Salya mempunyai sifat dan perwatakan; tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih–lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.

Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayuda oleh Prabu Yudhistrira atau Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada

Raja Salya adalah raja dari Kerajaan Madra dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai pemanah ulung dan kusir kereta yang handal.

Salya merupakan kakak Madri, istri kedua Raja Pandu, ayah para Pandawa. Menjelang terjadinya perang besar di Kurukshetra atau Bharatayudha, ia ditipu pihak Kurawa sehingga terpaksa berperang melawan para Pandawa. Salya akhirnya gugur pada hari ke-18 di tangan Yudistira.

Menurut kitab Mahabharata, Salya adalah putra Artayana Raja Madra sebelumnya. Setelah Artayana meninggal, Salya menggantikannya sebagai raja, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu raja Hastinapura yang kemudian melahirkan Nakula dan Sadewa.

Merujuk pada nama ayahnya, Salya dalam Mahabharata sering pula disebut Artayani. Versi kitab Mahabharata menyebut Salya memiliki dua orang putra bernama Rukmarata dan Rukmanggada. Namun siapa nama istrinya atau ibu dari kedua anak tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Sementara itu, versi Bharatayuddha (naskah berbahasa Jawa Kuno) menyebut nama istri Salya adalah Satyawati. Dari perkawinan itu kemudian lahir Rukmarata.

Dalam pewayangan Jawa, Salya sering pula disebut dengan nama Prabu Salyapati, sedangkan negeri yang ia pimpin disebut dengan nama Kerajaan Mandaraka. Secara garis besar, versi pewayangan Jawa tidak berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam versi ini raja Kerajaan Mandaraka semula bernama Mandrapati yang memiliki dua orang anak bernama Narasoma dan Madri. Narasoma kemudian menjadi raja bergelar Salya, sedangkan Madri menjadi istri kedua Pandu.

Versi pewayangan Jawa menyebut perkawinan Salya dan Setyawati melahirkan lima orang anak. Yang pertama adalah Erawati, istri Baladewa. Yang kedua adalah Surtikanti, istri Karna. Yang ketiga adalah Banowati, istri Duryudhana. Yang keempat adalah Burisrawa, sedangkan yang terakhir adalah Rukmarata. Tokoh Burisrawa dalam Mahabharata dan Bharatayuddha merupakan putra Somadata.

Dalam pewayangan, Somadata disebut Somadenta, dan dianggap sama dengan Salya. Maka, Burisrawa versi Jawa pun dianggap sebagai putra Salya.

Dalam versi pewayangan jawa Salya yang sewaktu muda bernama Narasoma pergi berkelana karena menolak dijodohkan oleh kayahnya. Di tengah jalan ia bertemu seorang brahmana raksasa bernama Resi Bagaspati yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Bagaspati mengaku memiliki putri cantik bernama Pujawati yang mimpi bertemu Narasoma dan jatuh hati kepadanya. Narasoma menolak lamaran Bagaspati karena yakin Pujawati pasti juga berparas raksasa. Keduanya pun bertarung. Narasoma kalah dan dibawa Bagaspati ke tempat tinggalnya di Pertapaan Argabelah. Sesampainya di Argabelah, Narasoma terkejut mengetahui bahwa Pujawati ternyata benar-benar cantik. Ia pun berubah pikiran dan bersedia menikahi putri Bagaspati tersebut.

Narasoma yang sombong merasa jijik memiliki mertua seorang raksasa. Pujawati yang lugu menyampaikan hal itu kepada Bagaspati. Bagaspati menyuruh putrinya itu memilih antara ayah atau suami. Ternyata Pujawati memilih suami. Bagaspati bangga mendengarnya dan mengganti nama Pujawati menjadi Setyawati. Setyawati menyampaikan kepada Narasoma bahwa ayahnya siap mati daripada mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka. Bagaspati rela dibunuh asalkan Setyawati tidak dimadu. Setelah Narasoma bersedia tidak menikah lagi kemudian ia menusuk Bagaspati namun tidak mempan. Bagaspati sadar kalau memiliki ilmu kesaktian bernama Candabirawa. Ia pun mewariskan ilmu tersebut kepada Narasoma terlebih dulu. Narasoma kemudian menusuk siku Bagaspati, titik kelemahannya sehingga Bagaspati tewas seketika. Narasoma kemudian membawa Setyawati pulang ke Mandaraka.

Mandrapati menyambut kedatangan Narasoma dan Setyawati dengan gembira. Namun, ia berubah menjadi sedih begitu mendengar kematian Bagaspati yang ternyata merupakan sahabat baiknya. Mandrapati pun marah dan mengusir Narasoma pergi dari istana. Madri yang masih rindu segera menyusul kepergian kakaknya itu.

Narasoma dan Madri tiba di Kerajaan Mandura, tempat sayembara untuk mendapatkan putri negeri tersebut yang bernama Kunti. Dengan mengerahkan Candabirawa, Salya (Narasoma) berhasil mengalahkan semua pelamar dan memenangkan Kunti. Pandu pangeran dari Hastinapura datang terlambat dan memutuskan untuk pulang. Narasoma mencegah dan menantangnya. Namun Pandu tidak mau melayani tantangan itu karena Salya sudah ditetapkan sebagai pemenang. Salya yang sombong terus memaksa, bahkan menyerahkan Kunti dan Madri sekaligus jika Pandu mampu mengalahkan dirinya. Pandu terpaksa melayani tantangan Salya.

Salya mengerahkan ilmu Candabirawa. Dari jarinya muncul raksasa kerdil tapi ganas, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Pandu sempat terdesak, namun atas nasihat pembantunya yang bernama Semar, ia pun mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada Tuhan. Dengan cara tersebut, Candabirawa justru lumpuh dengan sendirinya. Salya menyerah kalah. Tujuannya ikut sayembara bukan karena menginginkan Kunti, namun hanya sekadar untuk mencoba keampuhan Candabirawa saja. Sesuai perjanjian, Kunti dan Madri pun diserahkan kepada Pandu.

Salya kembali ke Mandaraka dan dikejutkan oleh kematian ayahnya. Konon, Mandrapati sangat sedih atas kematian Bagaspati yang tewas dibunuh Salya. Ia merasa telah gagal menjadi ayah yang baik dan memutuskan untuk bunuh diri menyusul sahabatnya itu. Narasoma kemudian menggantikan kedudukan Mandrapati sebagai raja, bergelar Salya. Pemerintahannya didampingi Tuhayata sebagai patih.

Dalam masa pemerintahannya, ia langsung menerima lamaran Duryudhana, raja Hastinapura untuk menikahi Erawati, putri sulungnya. Namun, Erawati kemudian hilang diculik orang. Erawati berhasil diselamatkan oleh Baladewa yang saat itu menyamar sebagai pendeta muda. Menurut perjanjian, seharusnya Erawati diserahkan kepada Baladewa. Namun hal itu ditunda-tunda karena Salya lebih suka memiliki menantu seorang raja. Setelah ia tahu bahwa Baladewa adalah raja Kerajaan Mandura, Erawati pun diserahkan kepadanya.

Salya kembali menerima lamaran Duryudhana untuk Surtikanti. Namun putri keduanya itu diculik dan dinikahi Karna. Duryudhana merelakannya karena Karna banyak berjasa kepadanya. Ia kemudian menikahi putri Salya yang lain, yaitu Banowati. (cerita tersebut diatas ada di pewayangan jawa dan tidak ada dalam cerita Mahabharata india)

Tokoh Kresna dalam Pewayangan Jawa


dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati atau Dwaraka, kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara tetapi dalam versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan. Kakaknya bernama Baladewa atau Balarama alias Kakrasana dan adiknya dikenal sebagai Sembadra atau Subadra, Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama.

Menurut pewayangan jawa anak-anak kresna adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, dia berperan sebagai sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding, dia memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan dia dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".

Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Baca Juga

Jagal Abilawa

Jagal Abilawa adalah nama samaran dari Raden Brotoseno / Bima, dia menyamarkan diri karena pada masa itu para Pandawa mendapat ujian karena ...